Penantian lama sudah berakhir. Polemik “siapa gubernur yang pantas memimpin Jakarta lima tahun ke depan sudah terjawab. Berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan Anies-Sandi unggul cukup telak, sekitar 57% an, berbanding 43%an untuk pasangan Ahok-Jarot. Tetapi hasil ini tidak menjauhkan Jakarta dari polemik karena justru muncul polemik baru, “kemenangan dari isu SARA bukanlah demokrasi yang sebenarnya”.
Polemik sebagai wujud dinamika dari dialektika ruang publik dalam masyarakat berdemokrasi memang tidak bisa dihilangkan atau direduksi pengaruhnya dengan ide-ide rekonsiliasi. Yang jika diartikan secara positif, polemik bukanlah wujud konflik sosial berkepanjangan tetapi wujud dari kesadaran eksistensial yang dibutuhkan demokrasi untuk menghasilkan kebaikan sosial melalui perbaikan berkesinambungan.
Apakah polemik tentang demokrasi yang sebenarnya itu memiliki legitimasi struktur ontologinya? Atau bahasa sederhanannya apakah demokrasi yang sebenarnya itu benar-benar ada?
Secara sederhana, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau orang banyak. Karena sifat inherennya, demokrasi tentu saja membutuhkan partisipasi rakyat, salah satunya dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Demokrasi tidak akan bisa dipisahkan dengan rakyat dan kesadaran publik. Kesadaran publik adalah bentuk perwujudan dari eksistensi publik atau jalan hidup yang dipilih oleh masyarakat.
Jalan hidup yang dipilih oleh sebuah komunitas sosial tidak bisa dipahami dengan sudut pandang “apa yang sedang terjadi saat ini” (sinkronik) tetapi juga “apa yang sudah berlangsung” (diakronik). Hasil pilkada Jakarta merupakan wujud eksistensial warga Jakarta dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dengan politik praktis yang mengalami dinamika sosial sebagai akibat dari “pencernaan” ide-ide demokrasi dan penerjemahannya dalam kehidupan berbangsa.
Penerjemahan kehidupan berbangsa tersebut akan selalu berada dalam wilayah subyek yang menafsirkan obyek. Kebhinekaan akan dipahami sebagai fenomena yang akan selalu mengalami proses penyelarasan dengan penafsiran Agama. Pluralisme tidak akan lepas dari agama dan sebagai akibatnya sekulerisme sendiri pun sebagai wujud struktur politik yang cocok untuk pluralisme juga tidak akan bisa menegasikan keberadaan ide-ide agama dalam proses menafsirkan fenomena.
Sebelum masuk ke pembahasan berdemokrasi yang sebenarnya, frase “yang sebenarnya” terlebih dahulu akan masuk ke wilayah problematika ontologi (Ontological difference). Jika “yang sebenarnya” itu harus diartikan “yang mewakili semuanya” maka “berdemokrasi yang sebenarnya” yang diarahkan ke ide-ide berdemokrasi subyektif dari salah satu paslon bukanlah yang sebenarnya karena ide berdemokrasi tersebut adalah pilihan yang bisa saja diartikan lebih baik dalam kaitannya dengan pluralisme sehingga yang lebih pantas adalah “yang lebih baik” bukan “yang sebenarnya”.
Analoginya, seperti ketika memilih di antara beberapa pilihan buah apel. Sebuah pilihan buah apel yang katakanlah rasanya lebih manis tidak bisa diartikan secara ontologis bahwa buah apel tersebut adalah buah apel yang sebenar-benarnya buah apel yang harus mewakili semua atribut buah apel, ens reallisimumdari ide transendental buah apel.
Jadi dimana buah apel sebenarnya itu? Tidak akan ada orang yang menjual buah apel itu karena yang dijual adalah wujud. Berdemokrasi yang sebenarnya itu bukanlah wujud.
Kemenangan Sadiq Khan sebagai walikota London bukanlah demokrasi yang sebenarnya karena kemenangan itu adalah wujud dari demokrasi yang dipraktekkan di London dimana sebagian besar warga London menganggap bahwa walikota adalah administrator kota dan menempatkan kecakapan teknis sebagai atribut yang diprioritaskan selain komitmen Sadiq Khan pada demokrasi itu sendiri (yang lebih tepatnya disebut dengan demokrasi yang dipraktekkan oleh warga London).
Kemenangan Anies juga tidak bisa dikatakan sebagai hasil yang bukan demokrasi yang sebenarnya karena dalam wujudnya hasil pilkada Jakarta itulah demokrasi yang dipraktekkan di Jakarta yang juga melibatkan ide-ide baru tentang demokrasi yang mencoba mendefinisikan kembali hubungan antara agama dengan demokrasi praktis. Sebuah wujud eksistensial warga Jakarta yang eksistensi wujudnya katakanlah tidak bisa direduksi dengan ide bahwa gubernur itu adalah pemimpin, bukan administrator, yang melekat padanya atribut se-agama. Wujud atau existant memiliki kesempurnaan dalam wujudnya.
Meskipun terdengar pragmatis, yang diharapkan dari demokrasi sebagai pilihan berpolitik bukanlah perdebatan dan polemik tentang ontologi atau pembahasan “apakah demokrasi yang sebenarnya itu?” yang tidak bisa melepaskan dirinya dari jebakan problematika ontologi ketika mengatakan bahwa pilihan A adalah demokrasi sesungguhnya karena klaim obyektifitasnya akan selalu dinegasikan dengan hubungan subyek-obyek (transcendental idealism) yang sudah menjadi wujud (being there).
Sisi baik dari pragmatisme adalah penekanannya pada hasil praktis dari sebuah wujud. Ketika Anda dengan gembira mengkonsumsi apel tersebut karena “kemenangan” Anda atau ketika Anda terpaksa mengkonsumsi apel tersebut karena “kekalahan” Anda, yang lebih penting harus Anda perhatikan adalah apakah akibat dari memakan apel itu pada tubuh Anda. Tentu saja Anda tidak dilarang untuk membayangkan dan mencari informasi apakah ada apel yang lebih baik meskipun Anda tidak akan pernah menemukan apel yang sebenar-benarnya apel. Dan ingat jangan memilih apel yang sama jika apel itu (tidak peduli apa pun kata orang) justru membuat perut Anda mual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H