Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Legitimasi Moral Hukuman Fisik untuk Siswa

3 Juli 2016   10:53 Diperbarui: 3 Juli 2016   16:34 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini bermunculan tulisan mengenai guru yang kemungkinan besar pemicunya adalah tuntutan hukum terhadap tindakan fisik guru ketika memberikan hukuman kepada siswa. Berita seperti ini bukanlah sesuatu yang baru di era kebebasan saat ini ketika setiap warga merasa memiliki hak yang sama di mata hukum.

Tetapi bagaimana legitimasi moral terhadap pemberian hukuman fisik kepada siswa? Apakah memberikan hukuman fisik ringan seperti mencubit sudah melanggar moral dan kode etik guru?

Kegaduhan tentang guru ini mengingatkan pengalaman pribadi saya sekitar 15 tahun yang lalu ketika saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sekolah lanjutan yang dikenal di kalangan siswanya sebagai sekolah “buangan”. Buangan di sini maksudnya adalah tujuan terakhir bagi calon siswanya karena peluang untuk masuk ke sekolah lain sangat kecil.

Tentu saja tanggung jawab untuk mendidik tiga kelas tingkat pertama bukanlah seperti piknik di akhir pekan atau sama sekali tidak menyentuh khayalan romantis calon guru ketika berada di bangku kuliah sambil mengangguk-angguk mendengarkan para dosen mengajarkan tentang teori-teori pendidikan.

Dari semua kekacauan yang terjadi di minggu-minggu pertama (yang lebih baik tidak saya sampaikan di sini), saya hanya berpikir kalau saya harus melakukan sesuatu karena tanggung jawab saya. Saya menemukan teknik mengajar sederhana yang mungkin saja terdengar kontroversial.

Saya sering memberikan peluang kepada semua siswa untuk bertatap muka dengan saya secara pribadi atau dalam kelompok kecil supaya saya bisa memeriksa hasil tugas mereka yang harus mereka kerjakan sendiri dan berkonsultasi dengan mereka untuk menemukan kesulitan apa yang mereka hadapi ketika mengerjakannya. 

Untuk setiap siswa saya berikan waktu hanya beberapa menit. Tidak lupa saya selalu memberikan penghargaan verbal terhadap setiap kemajuan yang mereka tunjukan, betapapun kecilnya itu. Selain itu saya selalu tekankan bahwa mereka harus bangga dengan setiap kemajuan yang mereka lakukan.

Ketika hari kenaikan kelas, saya dan rekan guru semata pelajaran melihat ada peningkatan pencapaian akademis. Saya ingat itu sebagai kegembiraan sesaat yang harus direnggut oleh politik administrasi sekolah. Seperti melihat lembar nilai itu hancur diinjak oleh kepentingan pragmatis yang menjadikan salah satu alasan saya untuk meninggalkan sekolah tersebut.

Kadang ketika mengingat kekacauan itu, saya selalu mencari sesuatu jauh di dalam hati. Apakah saya pernah melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan tindakan diluar kepantasan saya sebagai seorang guru? 

Dari banyak ketegasan yang harus saya lakukan dan dari sedikit momen ketika kesadaran nalar sudah menipis seperti tipisnya awan di puncak musim kemarau, sejauh yang saya ingat tidak pernah sekali pun saya mengucapkan kata atau memberikan hukuman fisik di luar kepantasan saya sebagai guru. Ada sesuatu yang menahan saya melakukannya.

Dunia pendidikan tidak mengharamkan pemberian hukuman (atau penghargaan). Keduanya dikenal sebagai sumber motivasi eksternal. Tetapi guru harus selalu ingat bahwa pemberian hukuman tersebut harus memiliki legitimasi moralnya. Penghormatan terhadap kemanusiaan.

Dalam batas tertentu pemberian hukuman fisik ringan seperti mencubit diperbolehkan dan menjadi kebaikan dalam wujudnya jika selalu berada di atas rel penghormatan terhadap kemanusiaan siswa. 

Hukuman tersebut sebaiknya ditujukan untuk memberikan motivasi eksternal supaya dalam diri siswa tumbuh kedisiplinan keilmuan dan sebaiknya menjadi pilihan terakhir. Tetapi yang harus selalu diingat oleh para guru adalah motivasi internal itu jauh lebih penting dari motivasi eksternal.

Yang membuat persoalannya tidak sederhana adalah sistem pendidikan kita cenderung mengabaikan semangat memanusiakan siswa. Dijejali dengan beban kurikulum yang secara langsung berakibat pada peningkatan kuantitas tugas yang salah satunya berbentuk pekerjaan rumah (sesuatu yang tidak pernah saya berikan kepada mereka), siswa hanyalah menjadi subyek untuk kenikmatan yang muncul dari apa yang disebut dengan pencapaian sosial dan finansial stakeholderlain. 

Dalam sistem sosial yang memandang pendidikan sebagai sarana produksi sumber daya manusia, pendidikan dalam prakteknya akan memandang peserta didik sebagai potensi sumber daya untuk pembangunan, bukan sebagai manusia.

Tuntutan dunia pendidikan menciptakan tekanan kejiwaan baru yang tidak bisa dihindari baik oleh pengajar dan peserta didik. Guru juga disebut-sebut sebagai profesi terasing yang membuat guru cenderung merasa jenuh dan kesepian. 

Situasi seperti itu menjadi pendorong semakin seringnya praktik hukuman baik mental, verbal atau fisik. Dan dalam lingkungan seperti ini hukuman dalam bentuk apa pun cenderung kehilangan legitimasi moralnya.

Di samping itu legitimasi moral juga akan hilang jika dalam konsep hubungan guru dan siswa sudah muncul keyakinan kognitif bawaan yang memicu dan memacu praktek-praktek yang tidak memanusiakan siswa. 

Keyakinan kognitif bahwa sifat alami (nature) lebih kuat daripada kemungkinan hasil pembelajaran (nurture) dan selamanya akan mendominasi hasil pembelajaran akan mereduksi legitimasi moral pada titik di mana bahkan hukuman verbal yang paling ringan seperti “Kau beda dibandingkan teman-temanmu” kehilangan legitimasi moralnya, apalagi hukuman fisik.

Yang menarik adalah adanya dan upaya sadar untuk mempertahankan keyakinan predeterminasi seperti itu bahwa pada sifatnya siswa itu sudah bermasalah dan tidak bisa dididik. Meloncat agak jauh ke persoalan teologi, salah satu sumbernya mungkin berasal dari konsep Ketuhanan yang begitu mahakuasa sehingga Tuhan bisa menciptakan kejahatan. 

Hipotesis selanjutnya yang semoga keliru adalah kebodohan dianggap sebagai kejahatan yang harus dijadikan contoh untuk memperoleh kebaikan darinya (prinsip for the greater good).

Tentu saja legitimasi moral di atas berlandaskan bahwa setiap individu adalah kebaikan dalam wujudnya dan Tuhan adalah sumber kebaikan. Sehingga validitas penegasian kebutuhan legitimasi moral dengan landasan argumentasi predeterminasi metafisik seperti itu tidak akan dibahas di sini.

Sebagai kesimpulan, hukuman sebagai bentuk motivasi eksternal bisa dan sah diberikan tetapi harus selalu disertai dengan legitimasi moralnya yaitu penghormatan terhadap individu lain sebagai wujud yang terdefinisi oleh keterikatannya (contingent existence). Mungkin guru harus mulai belajar untuk menghilangkan kata “bodoh” dalam keyakinan kognitifnya dan menggantinya dengan kata “belum termotivasi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun