Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara LGBT dan Radikalisme Agama: Manakah yang Lebih Berbahaya?

12 Maret 2016   09:24 Diperbarui: 12 Maret 2016   10:24 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LGBT telah menjadi isu nasional yang tidak habis-habisnya dibahas di berbagai media. Berbagai pendapat muncul, menambah kekayaan intelektual terkait bagaimana bangsa ini mengambil sikap terhadap fenomena LGBT. Selain LGBT, terorisme yang bersumber pada pemahaman radikal agama juga menjadi isu nasional yang pembahasannya selalu mendapatkan ruang di media. Bahkan tidak sedikit orang yang bertanya “mengapa persoalan terorisme seperti tidak pernah kehabisan bahan bakar?” Dari titik awal ini kita tentu sepakat jika kedua persoalan di atas adalah persoalan sosial yang dihadapi oleh bangsa ini.

Oleh sebab itu adalah sah jika dalam benak kita mulai membandingkan antara LGBT dengan radikalisme agama karena setidaknya keduanya sudah mencukupi persyaratan dasar untuk membandingkan keduanya, yaitu kedua-duanya adalah persoalan sosial yang memiliki sebuah atau beberapa atribut yang bisa dibandingkan meskipun kategori persoalan sosialnya berbeda.

Perbandingan tidak harus ditarik dari dua entitas yang termasuk dalam kelas yang sama. Keabsahan perbandingan bukan terletak pada persamaan kelas terkecil, tetapi pada persamaan atribut. Pernyataan “anak kecil itu lebih berat dari meja ini” memiliki keabsahan maknanya karena kedua entitas memiliki atau menampilkan atribut berat, meskipun berada dalam kelas yang berbeda.

Keabsahan perbandingan juga bisa muncul karena makna kontekstual yang berasal dari intensionalitas fenomenologis sebuah subyek dalam menarik dan memahami makna obyek. Pernyataan “meja itu lebih rapi dari dia” mungkin akan bisa dipahami jika dimasukkan dalam konteks subyektif membandingkan meja yang selalu di tata rapi dengan kebiasaan seorang yang tampil acak-acakan.

Di sisi lain keabsahan itu juga bisa muncul dari teori perbandingan sosial (social comparison theory) yang pertama kali disampaikan oleh Leon Festinger pada tahun 1954. Keabsahan seperti ini bukan terletak pada pengambilan kesimpulan obyektif tetapi lebih pada kebutuhan subyektif individual untuk melakukan dan memperoleh evaluasi diri yang akurat yang muncul karena dorongan dalam diri (drive) untuk menyelesaikan ketidakpastian dengan cara membandingkan pendapatnya dengan pendapat orang lain.

Dari dalil-dalil keabsahan membandingkan LGBT dan radikalisme agama seperti disampaikan di atas bisa ditarik pertanyaan hipotesis lebih jauh, “Manakah yang lebih berbahaya, LGBT atau radikalisme agama?”. Tentu saja, dalam menjawabnya dengan meminjam konsep being in the world-nya Martin Heidegger, “berbahaya” harus didefinisikan lebih jauh atau diberikan pengkodean lebih lanjut sehingga akan muncul “berbahaya (a), berbahaya (b), berbahaya (c) dan seterusnya sehingga contohnya pertanyaan hipotesis diatas akan menjadi “Manakah yang lebih berbahaya (terkait potensi kekerasan), LGBT atau radikalisme agama?”

Dari sudut pandang empiris materialistis, cara menjawabnya adalah sederhana. Pertama-tama kedua entitas harus diwujudkan dalam wujudnya masing-masing yang menampilkan potensi bahaya kekerasan yang sifatnya eksistensial sehingga bisa terukur secara empiris. Radikalisme agama ditarik menjadi kejahatan terorisme sedangkan LGBT bisa ditarik menjadi kejahatan yang berhubungan dengan kebutuhan seksual atau efek dari pemenuhan kebutuhan seksual yang menyimpang. Setelah diwujudkan seperti ini, kedua entitas ini akan menampilkan persamaan atribut, yaitu “tindakan agresif”.

Setelah muncul persamaan atribut “agresif”, langkah berikutnya adalah mengumpulkan data yang menggambarkan kualitas dan kuantitas efek dari sikap “agresif”. Contohnya adalah bagaimana tindakan itu dilakukan termasuk di dalamanya siapakah yang menjadi korban dan berapa banyak jumlah korbannya. Hasil pengumpulan data akan menunjukkan manakah entitas yang lebih berbahaya (terkait potensi kekerasan) dan jawabannya memiliki kekuatan kebenaran korespondensif statistik yang tidak memerlukan upaya-upaya koheren metafisik.

LGBT sebagai orientasi seksual yang dianggap menyimpang sering diduga keras menjadi sebab dari tindakan-tindakan sadis seperti perkosaan dan pembunuhan meskipun beberapa ahli sosiologi hukum juga berpendapat bahwa orientasi heteroseksual juga bisa menjadi sebab kejahatan-kejahatan yang tidak kalah kejamnya. Selama ini di Indonesia tindakan turunan dari LGBT lah yang dikenakan sangsi hukum jika melanggar ketentuan hukum, bukan orientasinya. Larangan pernikahan sejenis juga berasal dari definisi pernikahan yang hanya diartikan sebagai upaya untuk menghasilkan keturunan dalam unit keluarga yang wajar sehingga hanya bisa ditujukan untuk pernikahan antara laki-laki dan perempuan, sekurang-kurangnya sama dengan dalil pengacara yang anti pernikahan sesama jenis dalam kasus Obergeffel dan Hodges yang hasil keputusan tipisnya (5-4) populer disebut dengan “kemenangan cinta” yang menggegerkan dunia. Sekali lagi orientasi seksual harus dibedakan dengan agresi seksual. Sebuah pemaknaan yang akan mengubah bagaimana kita memahami kisah Sodom dan Gomorrah.

Di sisi lain radikalisme yang bersumber pada ajaran agama juga ditengarai menjadi sumber tindakan-tindakan kekerasan yang akan berubah menjadi teror ketika tindakan kekerasan itu tidak terkendali dan ditujukan untuk menciptakan rasa takut. Eropa pernah mengalami konflik agama yang dikenal dengan Perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years Wars) dari tahun 1618 sampai 1648 yang dipicu oleh konflik antara negara-negara Katolik dan Protestan (reformer) yang berkembang menjadi konflik umum yang sudah tidak melibatkan agama lagi. Islam sendiri tidak bisa luput dari bukti historis materialisme bahwa ajaran agama yang seharusnya menciptakan kedamaian pada suatu titik akan memilih jalan kekerasan seperti tercermin pada rivalitas sunni-syiah mulai dari persaingan militer antara kerajaan Fatimiyah yang syiah dengan Abasiyah yang sunni, antara kekaisaran Safavid yang syiah dengan kekaisaran Ottoman yang sunni sampai pada jaman modern antara kekuatan militer pemerintah Suriah dengan kelompok-kelompok pemberontak yang mencerminkan dua kekuatan, Arab Saudi dan Iran. Tetapi Islam juga melahirkan wajah-wajah teduh seperti bisa dilihat dari orientasi gerakan NU dan Muhamaddiyah di Indonesia yang memberikan harapan penyelesaian dikotomi sunni dan syiah melalui perdamaian.

Jawaban pertanyaan di atas akan kembali ke bagaimana pengalaman pribadi seseorang menerjemahkan sebuah fenomena yang ditangkapnya. Sesekali mungkin muncul cognitive dissonance yang menciptakan respon penarikan diri atau pencarian informasi yang diharapkan bisa mengembalikan keseimbangan kognitif. Tetapi fakta empiris tidak bisa ditolak dan dinegasikan begitu saja, apalagi yang sudah diterima luas, kecuali jika keabsahan keyakinan hanya bisa ditopang oleh dalil-dalil yang mengesampingkan dan tidak sesuai dengan bukti empiris yang diterima luas tersebut (delusi).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun