Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT Bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila (Sebuah Pemikiran Reduksionis?)

16 Februari 2016   11:00 Diperbarui: 16 Februari 2016   11:19 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah kemenangan pendukungnya dalam pergelutan sosial politik di Amerika Serikat dalam bentuk pengesahan legal, semangat LGBT seakan menyebar ke seluruh penjuru dunia, merisaukan negara-negara yang mengklaim diri mereka sebagai bangsa yang relijius.

Tentu saja relijius di sini dimaknai dalam keterikatannya dengan pemaknaan keimanan mainstream oleh negara-negara tersebut. Pemaknaan keimanan dalam pengertian ini biasanya adalah keharusan untuk patuh terhadap penafsiran mainstream obyektif dari sumber-sumber agama yang kekuatannya berasal dari hubungan antara institusi agama dengan entitas politik, bukan keimanan dalam pengertian yang memberikan ruang dialektika karena adanya ruang leap of faith.

Kerisauan theis relijius di Indonesia termanifestasi dalam bentuk gagasan dan tuntutan sosial politik yang belakangan mulai menggerakkan otoritas pendidikan dan sosial politik untuk melakukan pembatasan terhadap perkembangan gerakan LGBT. Bukan sesuatu yang mengejutkan mengingat hubungan yang erat antara agama yang terinstitusionalisasi dengan pemerintah sebagai otoritas eksekutif.

Salah satu argumentasi pembatasan tersebut adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama ini dianggap sudah menjadi dalil kuat untuk menentang keberadaan LGBT yang dianggap sebagai praktek yang tidak relijius. Wilayah inilah yang menjadi tema pusat artikel dialektis singkat ini.

Pancasila adalah dasar negara atau jika dijabarkan lebih jauh adalah dasar filosofis yang menjadi pedoman filosofis bagaimana negara ini harus dijalankan dalam koridor kebangsaan. Ketuhanan Yang Maha Esa pada awalnya diajukan oleh Sukarno sebagai sila kelima dalam sidang BPUPKI sebelum kemudian diposisikan sebagai sila pertama. Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lepas dari perbedaan pendapat, pergantian "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam piagam Jakarta hanya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa menyiratkan adanya dialektika dalam memahami ketuhanan dan bagaimana memposisikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semestinya.

Ajaran ketuhanan dalam sebuah agama tentu saja berbeda dengan ajaran ketuhanan dalam agama lain. Tetapi agama biasanya akan kerkutat dalam konsep ketuhanan dan gagasan kolektif yang menentang keberadan Tuhan biasanya tidak dianggap sebagai agama. Orang yang memiliki keyakinan pada suatu agama yang menggambarkan Tuhan yang sangat personal kemungkinan besar tidak mengartikan prime cause dalam konsep emanasi neoplatonik sebagai Tuhan, apalagi hubungan substansi dan aksiden dalam konsep pantheistiknya Spinoza. Meskipun demikian deistik mungkin akan beranggapan berbeda dan memhami entitas traansenden seperti itu sebagai Tuhan. Dengan kata lain, pemahaman sila pertama Pancasila tidak akan lepas dari bagaimana persepsi Ketuhanan itu terbentuk melalui ajaran agama dan seberapa jauh individu melakukan dialektika personal dan sosial untuk menemukan Tuhan.

Argumentasi penentang gerakan LGBT dengan menggunakan aksioma (dan oleh sebab itu disebut logis) bahwa gerakan LGBT bertentangan dengan sila pertama Pancasila bisa gugur karena ketidakmampauan manusia membawa persepsi Ketuhanan dalam wilayah obyektif (dan oleh sebab itu menjadikannya sebagai aksioma).

Meminjam sila Pancasila sebagai dasar obyektifitas persepsi ketuhanan yang muncul karena ajaran agama sama seperti memasung sila pertama ini hanya pada ajaran-ajaran agama tertentu. Dan itu tentu saja bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjadi dasar filosofis yang merekatkan semua elemen-elemen bangsa karena jika tidak maka Pancasila, terutama sila pertama, hanya digunakan sebagai dasar pembuktian obyektif persepsi Ketuhanan tertentu dan menjadi alasan bagi elemen-elemen masyarakat tertentu untuk menekan elemen-elemen masyarakat lainnya yang persepsi ketuhanannya berbeda dengan mereka. Inilah yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam wilayah filsafat, pemasungan ini bisa diartikan sebagai semangat reduksionisme yang bisa diterjemahkan sebagai upaya-upaya pencarian kebenaran dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai titik tolaknya, sebuah dialektika deduktif (meskipun sebenarnya dalam pengertian filsafat yang progresif dan peripatetik, sulit disebut dengan dialektika).

Pandangan reduksionis bisa digunakan untuk memperkecil ruang pembahasan dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai acuan pembahasannya. Kecilnya ruang pembahasan akan menciptakan hasil-hasil pemikiran yang praktis dan pragmatis (dan oleh sebab itu sulit untuk memasukannya sebagai wujud dialektika). Logis di sini lebih diartikan sebagai sesuatu yang praktis dan pragmatis dan biasanya sumber kelogisannya berasal dari bukti-bukti empiris. Dengan kata lain, reduksionis akan sangat menyandarkan logikannya pada bukti dan fakta yang sudah teruji kebenarannya secara empiris atau berlandaskan semangat positifistik logisnya Auguste Comte.

Bukankah menjadi sebuah keanehan jika ada pernyataan yang mengklaim dirinya sebagai pernyataan logis (aksioma) sedangkan landasannya adalah persepsi Ketuhanan yang bukan masuk wilayah empiris positifistik. Bukankah pernyataan itu seperti menganalogikan bahwa logika keberadaan dan kekuasaan Tuhan itu sama seperti logika keberadaan dan kekuasaan Raja? Dan bukankah menjadi peringatan berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa jika sila pertama akhirnya digunakan untuk membenarkan logika keberadaan Tuhan personal yang duduk di surga sambil berkata “Terkutuklah para pendukung LGBT” dan merampas keadilan sosial bagi minoritas yang ironisnya juga tercantum dalam Pancasila?

Apa pun jawaban Anda atas pertanyaan di atas itu adalah keyakinan Anda terkait hubungan agama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi saya yakin kita semua tidak ingin mengulang praktek-praktek kekerasan seperti membakar, menggantung dan menjatuhkan dari ketinggian sebagai hukuman terhadap perilaku seksual "menyimpang" dalam wujud-wujud hukuman yang lebih kontemporer dan sering disebut lebih manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun