Sedangkan pernyataan relijius yang memperbolehkan perayaan asalkan tidak berlebihan menampilkan elemen asetik yang masih worldly. Tetapi pernyataan tersebut biasanya tidak berlanjut pada pendefinisian apa yang dimaksud dengan “tidak berlebihan” karena sulitnya menyimpulkan berbagai macam kondisi subyektif yang sifatnya situasional menjadi satu kondisi obyektif, tema rintangan umum yang menjadi ganjalan agen-agen relijius teistik untuk mempertahankan dogma kebenaran obyektif mereka dalam dunia keagamaan yang semakin "encer".
Gema kampanye-kampanye asetik sebelum perayaan tahun baru semakin melemah ketika waktu semakin mendekati tengah malam. Dan ketika waktu tepat menunjuk pukul dua belas malam, gema panggilan ilahi itu seakan lenyap diterjang keriuhan dan kemeriahan tindakan-tindakan untuk melepaskan emosi kegembiraan atas datangnya tahun baru.
Langit-langit kota tiba-tiba menjadi terang benderang, dipenuhi hiasan-hiasan manusiawi yang menampilkan keindahan hidup dan gairah di dalamnya. Semua wajah bergembira, menampilkan semangat dan gejolak emosi. Pesan-pesan asetik tenggelam seperti suara guru pemula yang tenggelam dalam keramaian kelas sekolah urban atau suara pendakwah yang nyaris tidak terdengar karena teriakan-teriakan penonton konser pada acara kolaborasi dakwah dan musik.
Tetapi ada saat-saat ketika masyarakat yang masih menyebut diri mereka masyarakat relijius membawa agen-agen asetik tersebut di atas mimbar dan memberikan kesempatan bagi agen-agen tersebut untuk merasakan kemenangan asetik sebagai jalan untuk menjawab panggilan ilahi meskipun tidak lama lagi, perayaan-perayaan itu akan datang dan pesan-pesan itu kembali tenggelam. ……Sebuah cognitive dissonance?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H