Seiring dengan terungkapnya prositusi kelas atas yang melibatkan seorang aktris dan mantan peserta kompetisi kecantikan, dialektika tentang pelacuran kembali muncul dalam ruang publik terutama media sosial di dunia maya.
Tetapi yang menjadi pusat perhatian artikel ini adalah dialektika moral yang muncul di ruang publik dengan menggunakan pertanyaan “Apakah prostitusi atau pelacuran pantas memperoleh ruang untuk dialektika moral?” sebagai pertanyaan hipotesisnya, bukan kasus prostitusi yang melibatkan aktris dan mantan peserta kompetisi kecantikan itu sendiri dan dialektika hukum yang muncul seperti pantaskah pelacur dijadikan korban, bukan pelaku.
Seperti bisa terlihat dari persepsi publik, ada dualisme terkait persoalan moral. Pemosisian sebagai moralis dan sebagai relatifis. Yang berada di bahwa bendera moralis akan mengatakan bahwa pelacuran itu salah dan tidak bermoral sedangkan yang berada di bawah bendera relatifis berpendapat salah-benar atau bermoral-tidak bermoral harus ditangguhkan karena kebenarannya berada pada wilayah yang relatif.
Moral berhubungan dengan prinsip benar dan salah atau kemelekatan pada prinsip tersebut. Oleh sebab itu moralis adalah orang yang mendukung prinsip tersebut dan dengan sendirinya mengajarkannya.
Relatifisme adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa moralitas muncul semata-mata karena hubungan antara moralitas dengan konteks sosial, kultur dan historis sehingga moral tidak memiliki sifat absolut.
Dalam wilayah dialektika moral untuk pelacuran, akan muncul pernyataan-pernyataan yang dipersepsikan membela pelacur dengan argumentasi pembelaan yang dititik-beratkan pada hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dihindari atau bersifat deterministik kausal sehingga akibatnya tidak bisa dikatakan bersalah secara moral. Masalah sosial-ekonomi biasanya sering digunakan dalam pembelaan seperti ini.
Judul di atas sebenarnya lebih tepat jika dipahami sebagai tanggapan terhadap fenomena perseptual “membela pelacur” yang di dalamnya, jika tidak disadari secara perseptual, terdapat potensi relatifisme atau, jika disadari secara perseptual, menggunakan dalil relatifisme sebagai dasar pembelaannya.
Teringat seorang rekan yang membuat pernyataan yang bernada “filosofis” yaitu bahwa pelacur itu tidak berdosa dan seharusnya justru mendapatkan pahala dengan alasan karena dengan jasanya, orang bisa menyalurkan hasrat biologisnya tanpa melakukan tindakan kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, selain hasil dari jasa itu dia gunakan untuk menghidupi keluarganya.
Alih-alih mendapatkan simpati dan perhatian serius dari pendengar di sekelilingnya, pernyataannya dianggap seperti angin lewat saja. Tetapi ada bayang-bayang kepuasan pada wajahnya. Mungkin rekan saya ini berpikir untuk menjadi seorang bijak atau katakanlah seorang filsuf dia harus berani menentang arus dan bersikap dialektik.
Pengalaman pribadi di atas menunjukkan bahwa dialektika moral untuk pelacuran memang menjadi fakta sosial. Apa yang ditetapkan salah oleh masyarakat bisa menjadi benar, contohnya dengan dalil di atas. Tidak ada benar-salah absolut, yang ada hanyalah sudut pandang. Sebuah dasar pemikiran yang membidani lahirnya relatifisme, atau dalam konteks ini relatifisme moral.
Adanya fakta bahwa penilaian moral antara satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda memang tidak bisa dipungkiri. Seseorang yang menerapkan prinsip moral dengan tidak menghabiskan makanan di suatu daerah untuk menghindari munculnya persepsi kerakusan mungkin akan dianggap sebagai orang yang tidak bermoral karena dia tidak menghargai jerih payah tuan rumah untuk menyiapkan hidangan.