Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seputar Keimanan (Sebuah Dialektika)

4 Desember 2015   15:07 Diperbarui: 4 Desember 2015   15:07 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keimanan memegang peranan penting dalam keberadaan theis untuk memahami bagaimana kehidupan ini seharusnya berjalan  di bawah kendali Tuhan. Konsep-konsep moral theistik mengalir dari hulu  “keimanan” yang sering diwujudkan dengan penegasan posisi Tuhan dalam menentukan mana yang baik dan mana yang benar.  

Tidak seperti pandangan deistik (atau tentu saja atheistik), konstruksi moral theistik akan bersandar pada kejelasan  posisi Tuhan dalam menentukan konsep moral. Ini lah yang menjadi alasan mengapa theis cenderung berpegang teguh pada teks-teks yang didefinisikan sebagai “kesucian hulu”.

Dari kebutuhan akan kejelasan sebagai permulaan penalaran (dengan asumsi bahwa klaim kebenaran tidak bisa lepas dari penalaran), tidak lah mengherankan jika metode yang digunakan  adalah metode deduktif atau proses berpikir yang mencoba menjelaskan satu acuan prinsip umum dengan memunculkan berbagai macam contoh-contoh khusus.

“Pengembaraan dialektik” yang biasanya akrab dengan metode induktif biasanya tidak bisa dilabelkan pada theis yang baik atau orang beriman dalam cakupan penjelasan  di atas. Pengguna  metode peripatetik atau berjalan dari satu tempat ke tempat lain tidak akan masuk dalam kategori beriman dan biasanya akan direndahkan ke dalam kategori orang “kebingungan”.  

Apakah kebutuhan untuk menegaskan  kebenaran hulu yang biasanya diipahami melalui pendekatan literal universal akan selalu memunculkan kecenderungan terbentuknya klaim kebenaran mutlak yang lebih jauh  akan mengarah ke terbentuknya sikap merendahkan (jika tidak melecehkan) menjadi pertanyaan yang menarik untuk di jawab terutama dari sisi teori kebutuhan Maslow dalam wilayah subyektif, terutama pada tingkat kebutuhan penghargaan diri.

Jika memang benar ada hubungannya, pemaparan hubungan itu akan menjelaskan kecenderungan orang theis yang mau tidak mau dengan sendirinya menciptakan kebutuhan untuk diakui beriman sebagai bentuk kemelekatannya pada klaim kebenaran hulu untuk melakukan perendahan dan pelecehan terhadap metode-metode penafsiran kebenaran  yang berbeda. Tetapi hal tersebut memerlukan ruang dan waktu tersendiri.

Dengan tesis bahwa tidak ada sesuatu pun yang lepas dari pengalaman, maka bisa diambil hipotesis awal bahwa penalaran  (apa pun bentuknya, deduktif atau induktif) terhadap kebenaran hulu yang biasanya  berupa teks-teks yang disucikan serta kisah perjalanan hidup figur-figur yang dari diri mereka mengalir kebenaran-kebenaran dari sumber transendental tidak bisa lepas dari pengalaman.

Jika yang sebaliknya adalah benar, berarti tidak ada pengalaman. Ketidakadaan pengalaman akan masuk ke konsep fatalistik, semuanya sudah diatur oleh sumber transendental  yang berperan sangat aktif. Bahkan keputusan yang diambil berdasarkan pengalaman empirispun akan ternegasikan karena penghapusan kehendak. Konsep seperti ini tentu  dengan sendirinya akan menyangkal konsep pemberian hadiah dan hukuman yang  mendominasi pandangan agama theistik. Sebuah paradoks.

Menurut Kant dalam konstruksi kebenarannya, manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan di luar pengalaman. Jika Tuhan adalah di luar pengalaman manusia maka manusia tidak mungkin akan bisa memahamiNya  atau realita transendental di luar ruang dan waktu.

Dengan dalil di atas,  klaim mengenai apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk kehidupan yang terikat dengan ruang dan waktu dengan sendirinya  akan masuk dalam kategori pengalaman empiris beserta penalaran logisnya. Dan yang sebaliknya adalah berusaha menjadi dan bertindak sebagai Tuhan, atau menyentuh apa yang disebut Kant dengan ens reallisimum, berkumpulnya semua predikat atau akhir dari realita. Sebuah kemustahilan(?)

Keyakinan kepada entitas transendental tentu saja harus diletakkan pada posisi yang sebenarnya. Karena yang transendental adalah di luar pengalaman,  maka menganalogikan keyakinan terhadap entitas transendent al dengan entitas empiris adalah ketidakpantasan metodologi dalam memahami entitas transendental.

Analogi seperti  keyakinan bahwa di dalam lemari es yang ada di depan kita terdapat makanan meskipun visibilitasnya tidak ada tidak bisa disamakan dengan keyakinan terhadap ada atau tidak adanya entitas transendental (Tuhan).

Keyakinan  bahwa ada makanan di dalam lemari es , seperti keyakinan bahwa makanan yang dijual di sebuah restauran adalah bersih dan layak saji.  sangat dipengaruhi oleh pengalaman empiris. Jika dalam sepuluh kesempatan membuka lemari es tidak terdapat makanan, atau jika  dalam sepuluh kesempatan  mencicipi makanan di sebuah restauran ternyata makanannya tidak bersih dan layak saji, maka pengalaman empiris akan mengatakan bahwa keyakinan tidak ada makanan dan keyakinan  makanan tidak bersih dan tidak layak saji lah yang memiliki kebenaran, bukan sebaliknya.

Sekali lagi menganalogikan keyakinan yang muncul karena pengalaman empiris dengan keyakinan akan entitas transendental bersama dengan bentuk-bentuk realitanya adalah sebuah ketidakpantasan karena masing-masing berada di wilayah berbeda.

Theis biasanya mencoba menyelesaikan problematika yang muncul dari penolakkan validitas kebenaran dengan menggunakan  metodologi seperti di atas dengan memberikan klaim-klaim keberadaan atau jejak-jejak keberadaan entitas transendental dengan bukti-bukti empiris seperti terdapat di obyek-obyek alam.

Tetapi apakah upaya tersebut disertai dengan kesadaran penuh bahwa upaya tersebut justru memasukkan entitas transendental ke dalam ikatan-ikatan ruang dan waktu? Sekiranya tidak ada keyakinan theistik yang mengklaim bahwa keberadaan entitas transendental bisa dialami secara empiris oleh manusia terutama keyakinan yang bersandar pada ciri omnipresent (ada dimana-mana).

Keimanan terhadap keberadaan entitas transendental atau Tuhan dalam kasus theisme seharusnya ditempatkan pada wilayah yang semestinya, sehingga tidak ada praktek-praktek merendahkan atau melecehkan yang tentu saja bukan bagian dari ajaran moral yang diyakini oleh theis.  

Keterangan:

1. Artikel ini murni artikel filsafat. Pendapat dan komentar sebaiknya tidak membawa keyakinan agama.

2. Konsep Kant tentang agama sangat menarik. Pada awalnya dituduh sebagai anti-agama, justru belakangan  filosofi Kantian dianggap memberikan makna yang pantas untuk keimanan. Bisa lebih jauh dibaca di Critique of Pure reason and Religion in the Boundaries of Mere Reasons.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun