Persoalan etimologi ini memberikan dua pilihan. Seperti biasanya menerima apa adanya atau melakukan upaya untuk penciptaan ide yang lepas dari pemaknaan umum seperti yang ada dalam kamus. Ketika ada pernyataan “lawanlah nafsumu”, harus ada upaya cepat menyesuaikan ide bahwa yang dimaksud adalah “hawa nafsu” atau nafsu dalam kategori pertama dalam konsep sufisme. Upaya ini membutuhkan kesadaran pengetahuan yang tentu saja harus selalu dijaga dan dipertahankan.
Pilihan akan selalu berada dalam sisi pengguna bahasa sebagai pengguna aktif. Apakah makna akan bergeser jauh atau tidak tergantung pada pengguna bahasa. Menyebut marder dengan sebutan tank memang sah-sah saja. Tetapi tentu saja tidak akurat (marder berada dalam kategori IFV/Infantry Fighting Vehicle). Atau pendengar tidak protes ketika mendengar pernyataan “Orang itu marah sambil membawa samurai.”. Tetapi tentu saja tidak akurat (samurai adalah ksatria pada jaman klasik jepang, bukan nama pedang). “Dengarkan kata hatimu” menjadi sesuatu problematika jika hati dimaknai sebagai pengetahuan awal (innate knowledge) yang bersifat apriori karena keputusan berasal dari ide yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman posteriori. Atau apakah kata hati harus mendapatkan beberapa pelabelan khusus untuk menjadi akurat seperti halnya kata nafsu? Pragmatisme akan menolaknya dengan dalih “Berapa pelabelan yang harus diberikan untuk menjadikan kata menjadi akurat?” Dan kata akan selalu terlempar kesana-kemari dalam pusaran etimologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H