Segala polemik yang menyertai pelaksanaan hukuman mati kasus narkoba akhirnya mendapatkan jawabannya. Pelaksanaan hukuman mati tetap dijalankan dan bahkan diklaim pelaksanaannya lebih baik dari yang pertama. Dalam skala nasional eksekusi hukuman mati ini menjadi jawaban terhadap semua polemik tentang keharusan menjalankan hukuman mati sebagai wujud eksistensi hukum yang tentu saja berdaulat. Tetapi kontroversi hukuman mati jauh dari kata selesai dan untuk waktu yang cukup lama ke depan tampaknya baik praktek, landasan filosofis, dan dialektika yang menyertainya akan tetap menjadi ciri perkembangan peradaban manusia yang tentu saja harus dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Para pegiat anti hukuman mati mendasarkan argumentasi mereka pada hak untuk hidup sebagai hak asasi yang menjadi wujud dari kemanusiaan. Sedangkan para pendukung hukuman mati menjadikan argumentasi pentingnya menyelamatkan hak untuk hidup orang banyak dan tindakan penyelamatan ini tidak mengurangi sedikit pun arti penting kemanusiaan.
Tetapi yang menarik adalah kemanusiaan lebih sering dilekatkan pada kampanye menentang hukuman mati. Dan individu-individu yang menentang hukuman mati menempatkan diri mereka pada barisan pembela kemanusiaan. Retorika persuasif yang muncul dari barisan ini terkesan menyudutkan barisan pendukung hukuman mati dengan secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kepekaan kemanusiaan.
Sebagai imbasnya, muncul persepsi ketidakpekaan pada kemanusiaan yang melekat pada otoritas pelaksana dan penanggungjawab eksekusi. Selain mereka, siapa pun yang menyampaikan dukungan pada eksekusi pun tidak lepas dari penandaan ketidakpekaan pada kemanusiaan.
Yang perlu dikhawatirkan di sini adalah upaya cepat untuk menentukan pengetahuan obyektif tentang kemanusiaan. Apa yang harus ada sehingga manusia bisa disebut manusia didefinisikan terlalu cepat dalam bentuk argumentasi yang menempatkan kemanusiaan sebagai wujud fisik yang hadir di dunia, bukan sebagai esensi yang metafisik.
Menegasikan adanya perbedaan dalam bentuk relatifisme moral deskriptif sebagai wujud persepsi yang muncul karena pengalaman empiris atas nama kemanusiaan justru akan menempatkan kemanusiaan pada pemaknaan yang praktis dan pragmatis secara ontologis. Menyamakan semua persepsi manusia pada satu kebenaran obyektif adalah pengingkaran eksistensi, penyederhanaan makna transcendental ego.
Upaya berani menempatkan kemanusiaan dalam wilayah praktis dan meninggalkan sifatnya yang universal memang menjadi fenomena yang menarik. Kemanusiaan ditempatkan sebagai wujud yang hadir di dunia (being in the world) dalam bentuknya sebagai kemanusiaan an sich, bukan dalam wujud tatanan dan hukum yang terikat pada historikalitas, kausalitas dan kerangka waktu.
Kemanusiaan menjadi panji nyata dan gamblang yang di belakangnya berdiri individu-individu yang siap membelanya. Dan tentu saja pembelaan yang menjadikan individu-individu lain yang ada di seberang garis adalah individu-individu yang kurang memiliki kepekaan kemanusiaan atau tidak memiliki kemanusiaan sama sekali. Dan bagi para pembela bendera kemanusiaan individu-individu di seberang mungkin saja bukan manusia. Tetapi bukankah kemanusiaan haruslah bersifat universal dan bukankah garis tegas yang dibuat oleh pihak-pihak pembela kemanusiaan itu justru menegasikan sifat kemanusiaan yang seharusnya universal?
Kampanye tentang kemanusiaan praktis obyektif terus berjalan dan semakin bergairah ketika ada pihak-pihak yang dianggap melakukan tindakan yang melanggar kemanusiaan seperti eksekusi hukuman mati. Kepraktisan akan memunculkan kategorisasi. Dan justru aneh ketika berbicara kemanusiaan yang seharusnya bersifat universal muncul kategori kelompok yang menjunjung kemanusiaan dan yang tidak tanpa mendudukannya sebagai sebuah eksistensi.
Pembentukan pengetahuan obyektif atas nama kemanusiaan memang dengan sendirinya akan mengingkari adanya perbedaan eksistensial kausalitas dan dinamika komunitas yang memberikan warna pada sejarah perkembangan peradaban manusia. Sanggahan pada rasa keadilan eksistensial dalam kampanye rasa keadilan obyektif sama seperti menampik fakta ketimpangan hubungan antar komunitas di dunia. Ada yang mendominasi dan ada yang didominasi. Dalam wilayah pasar kapitalistik, ada yang terus dijaga sebagai produsen dan ada yang harus tetap menjadi konsumen dengan mental konsumtifnya melalui pengiklanan masif. Dan tentu saja dunia yang ideal adalah dunia tanpa subyek dan obyek. Apakah kampanye kemanusiaan ini menganggap dunia ini sudah begitu indah sehingga pengetahuan obyektif bisa dimunculkan begitu saja?
Dan yang tidak kalah menarik persoalan filosofis mewujudkan yang universal menjadi praktis dengan menegasikan tatanan dan hukum yang bersifat eksistensial coba dijawab dengan memanggil sahabat lama bernama hati nurani. Hati nurani kembali harus berperan sebagai palang terakhir pertahanan logika. Dan tentu saja hati nurani di sini diartikan sangat aktif, bukan pengetahuan awal (innate knowledge) seperti contohnya konsep sebab akibat. Seperti seseorang yang berkata pada temannya menjelang hari pernikahannya, “Hati nuraniku berkata aku harus memilih dia.”
Tentu saja hati nurani disini adalah romantisme. Romantisme yang tidak mengenal konsep kode awal nyaman-tidak nyaman pada sistem kognitif ketika ada rangsangan empiris. Romantisme yang menuntut seseorang yang kehilangan indahnya keluarga karena narkoba untuk tetap berkata “aku menentang hukuman mati karena hati nuraniku mengatakan seperti itu.” Romantisme mistis yang mengabaikan pengalaman empiris. ………..Dan memang tidak ada yang lebih indah selain bermain dalam kabut tipis romantisme mistis di taman bernama “kemanusiaan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H