Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aku Belum Mendapat Hidayah

27 Januari 2014   11:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Aku belum mendapat hidayah” katanya enteng.

“Jadi kamu menunggu itu turun?” tanyaku heran.

“Ya”

“Lalu kapan kamu tahu kalau itu akan turun?”

“Pokoknya aku tahu. Aku rasakan saja.”

“Jadi kau hanya diam. Tidak melakukan apa-apa, katakanlah pencarian yang sederhana saja. Hanya diam saja?"

“Ya”

“Hidayah seperti itu hidayah omong kosong” kataku pelan.

Dia tersentak, bangkit dari duduknya dan menuding ke arahku sambil berkata keras, “Kau menghina surga.”

Sebaik-baiknya aku berusaha menahan hati ini jengkel juga dituduh menghina Surga. “Lalu siapa yang baik, kamu yang masih melakukan ketidakbaikan itu, tapi percaya pada Surga yang akan memberimu sesuatu surgawi. Atau aku yang tidak percaya omong kosong itu, tetapi berjuang keras, bergelut dengan nafsu manusiaku, tertatih-tatih setelah dihantam kegelisahan hanya untuk berjalan ke arah yang benar?"

Sialan justru aku sekarang membayangkan wajah Tuhan yang masam memandang ke arahku. Kadang aku merasa landasan dasar kemanusiaanku itu landasan yang sangat lahiriah. Sesuatu yang memuakkan. Aku menatap ke langit. Awan-awan kelabu mulai berdatangan dari utara membawa uap-uap air. Sebentar lagi hujan turun. Sekarang aku berharap hujan turun dengan deras, menghapus dasar lahiriah yang kadang menyesakkan ini, membawaku ke hakikat penciptaan manusia. Tiba-tiba petir membelah langit, suaranya meledak merontokkan sudut jiwaku yang paling dalam, membuyarkan angan-anganku. Tuhan seperti berkata, menegurku keras, “Kau mengeluh? Setelah perjuangan kerasmu melawan nafsu lahiriah, setelah tertarih-tatih dan kadang terperosok dan terluka hanya untuk mencari kebenaran, kau mengeluh? Setelah melawan pergolakan batinmu dengan pedang dan perisai yang Aku berikan, kau masih mengeluh? Sekarang kau minta Aku menurunkan hujan supaya bisa mensucikanmu dari sifat dasar lahiriahmu? Semudah itu, lalu apa gunanya aku berikan kau pedang bernama akal dan perisai bernama hati? Apa gunanya malaikat-malaikat itu menunduk hormat dihadapan moyangmu yang pertama jika kemenangan itu kau peroleh hanya semata-mata karena bantuanKu, bukan hasil perjuanganmu sendiri? Tapi ya...ya aku bisa paham kalau kau mengeluh?"

Sambil menunduk dalam, tidak sengaja aku bergumam lirih, "Tidak...tidak...aku tidak mengeluh."

“Apanya yang mengeluh?"

“Tidak…tidak ada apa-apa.”

“Bagiku yang percaya itu lebih baik dan yang mempertanyakan itu lebih buruk, bahkan dosa.”

“Apa? apanya yang dosa?”

“Itu jawaban pertanyaanmu tadi.”

Aku hanya diam sambil terus menatapnya. Sedang diluar hujan mulai turun. Hujan yang deras, tetapi aku tidak berharap hujan itu membasuhku.

Januari 2014menghapus kegala n dengan deras, menghapus sahku. baikan itu biarpunSurga yang akan memberimu sesuatu surgawi.

Seringkali dalam interaksi sosial sehari-hari kita mendegar kata hidayah. Tetapi kadang orang sekedar mengucapkannya tanpa melihat arti sebenarnya sehingga muncul persoalan-persoalan yang tidak bisa dihindari dari pemaknaan yang sempit. Pemaknaan seperti ini akan melahirkan pola pemikiran yang justru mengarah ke arah yang berlawanan. Menurut etimologi, kata hidayah adalah dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang telah menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah : hadaa, yahdii, hadyan, hudan, hidyatan, hidaayatan. Dalam pengertian sempit hidayah diartikan petunjuk yang sama persis dengan definisi hidayah dalam KBBI, yaitu petunjuk atau bimbingan dari Tuhan. Apakah sesederhana itu?

Terlepas perbedaan pendapat dan cara pengklasifikasinya (yang menunjukkan kekompleksitasan konsep ini), hidayah sebaiknya dipahami sebagai bentuk-bentuk berikut ini:


  1. Hidayah bawaan lahir.
  2. Hidayah panca indera.
  3. Hidayah akal.
  4. Hidayah agama, baik dalam pengertian konsep yang harus dipelajari atau keterikatannya dengan petunjuk esensi dasar manusia.

Jika tidak dipahami secara holistik, maka akan muncul persoalan-persoalan yang bisa diringkas menjadi dua persoalan besar. Jika hidayah dipahami dalam konsep divine illumination yang sempit maka akan muncul pemahaman keliru yang akan membentuk konsep berpikir kepasrahan pasif, keimanan terbentuk dengan kepasifan. Keimanan bukan merupakan produk gelisah akal yang berujung pada kesadaran kekal sebelum menjadi keimanan. Keimanan akan terlepas dari fisik, akal dan nalar. Berbicara keimanan berarti masuk kedalam ruang metafisik yang tidak terukur. Buku-buku tentang keimanan akan masuk dalam wilayah yang tidak bisa dibahas tingkat kevaliditasannya karena masuk dalam wilayah metafisik yang tidak bisa diukur. Jika hidayah dilekatkan pada konsep grace (rahmat Tuhan) maka terdapat sesuatu yang mengherankan karena justru pendukung konsep ini menghubungkannya dengan konsep berkehendak dalam diri manusia (perdebatan lebih jauh bisa ditemukan pada penjelasan konsep Divine Illumination atau Divine Freedom). Persoalan kedua muncul jika pemahaman ini digunakan untuk pemutlakan nilai. Tidak ada ruang untuk perbedaan penafsiran karena yang menjadi landasannya adalah Kebenaran Surga yang mutlak. Pemutlakan nilai akan menegasikan poin bekal bawaan lahir, panca indera, akal dan akan membawa ke wilayah doktrinisasi penafsiran ajaran agamaterukur. m menjadi keimanan. f, keimanan terbentuk dengan ke yang mutlak. Ada logika yang mengganggu dalam hal ini. Jika akal dan nalar dikesampingkan, mengapa Tuhan memberikan akal dan nalar kepada manusia. Jika surga dicapai hanya melalui jalan metafisik dan sumber apriori, berarti semua kebaikan hasil empiris keliru. Jadi peradaban yang dibangun oleh manusia atas landasan kebenaran empiris menjadi keliru? Sulitlah membayangkan kehidupan ini seperti apa jadinya jika kebenaran yang ada hanya dilandasi dengan kebenaran metafisik. Selain itu, pemutlakan nilai akan membawa kita kepada fanatisme. Fanatisme memang menjadi tawaran yang menggiurkan untuk menikmati imbalan “Surga”. Dalam masyarakat kontemporer, umat beragama memang dihadapkan persoalan yang jauh lebih rumit karena perkembangan teknologi informasi. Dan untuk menjawab persoalan yang muncul dari kerumitan itu, fanatisme muncul tidak ubahnya seperti gadis manis nan molek dimata para remaja laki-laki. Fanatisme menawarkan jalan pintas. Tidak jauh berbeda dengan ketika Anda memilih jalan pintas dalam perjalanan pulang. Tetapi jalan pintas selalu menciptakan resiko. Contohnya ketika Anda memilih jalan pintas, Anda harus siap menghadapi resiko seperti kondisi jalan yang mungkin saja tidak seperti yang Anda bayangkan, keamanan dan pengeluaran biaya tambahan. Sedemikian juga jalan pintas dengan nama Fanatisme.

Tulisan ini membahas dari sudut pandang Islam dan mengaitkannya dengan dua pandangan dalam filsafat umum (divine freedom dan divine illumination). Dalam wilayah itulah, hidayah sebaiknya dipahami secara menyeluruh dalam pandangan hubungan manusia dengan Tuhan dan posisi manusia dalam hubungan itu. Tidaklah bijak jika hidayah dijadikan alasan untuk menyederhanakan bentuk hubungan antara Tuhan dan manusia dan tidaklah bijak juga jika hanya menyandarkan keyakinan pada satu sumber penafsiran saja karena sebaik-baiknya keyakinan adalah keyakinan sebagai hasil dari proses berpikir kritis dan kedewasaan ikir dan inan sebagai r saja karena sebaiknbih buruk, bahkan dosa.ai? bersikap.

tsiem imbalan Surga. Fanmat yang menggiurkan untuk menikmati imbalan Surga.hanya ris menjadi keliru h manusia atas landasan kebenaran empiris menjadi keliru si

“O mankind, indeed you are laboring toward your Lord with [great] exertion and will meet it.” (84:6)

"As for those who strive for Our cause We will definitely guide them to Our paths' : (29:69).

"….You will indeed be questioned about what you used to do" . (16:93).

Catatan: Nama dan karakter diatas fiktif semata. Jika ada kesamaan pasti bukan karena kesengajaan. Dalam penulisannya penulis berusaha tetap obyektif dan tidak konklusif untuk memunculkan ruang refleksi dari tujuan yang hanya semata-mata menghadirkan konsep-konsep yang ada dalam hidayah dalam sudut pandang Islam. Jika ada kekurangan dan hal-hal yang tidak pas, semata-mata disebabkan oleh keterbatasan pemahaman penulis. Kritik dan saran konstruktif jelas mendapatkan apresiasi dari penulis. Semoga bermanfaat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun