“Jangan menuhankan akal”! kalimat ini membuat aku tersentak. Pagi-pagi sekali aku sudah menyalakan TV dan sesaat kemudian aku mendengar petuah ini. Ingatanku melayang ke suatu waktu ketika aku melakukan pembahasan “hangat” dengan teman lamaku di situs sosial media. Dan setelah pembahasan panjang, ujung-ujungnya teman yang aku hormati ini memberikan nasehat yang kira-kira isinya sama, “Jangan menggunakan akal. Gunakan hati.” Temanku ini lebih jelas karena dia memberikan alternatif lain selain akal, yaitu hati sedangkan petuah di TV itu kurang lebih tidak jelas. Seingat saya lengkapnya, “Jangan menuhankan akal! Berserahdirilah.” kira-kira seperti itu.
Kembali ke temanku yang baik hati yang memberikan nasehat, “Jangan menggunakan akal. Gunakan hati.” Sejujurnya saya sangat berterimakasih kepada teman saya ini karena berkat dia, saya melakukan “blusukan” ke begitu banyak situs, mengunduh berbagai sumber tentang akal dan mengenal tokoh-tokoh filsuf mulai dari jaman helenistik, jaman kuno akhir, sampai ke modern dan kontemporer. Dari kegelisahan karena pesan itulah saya akhirnya menyelami kedalaman pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Kegelisahan yang melahirkan kegelisahan baru.
Blusukan saya tentang akal ini memberikan konsep dualisme berpikir, yaitu rasionalisme dan empirisme. Dua konsep yang tidak lelahnya bertarung dan di sini pun sering saya menyaksikan pergulatan tanpa henti antara dua gagasan tersebut yang sayang kadang disertai dengan cara pembahasan yang kurang “pantas” menurut saya pribadi karena masuk dalam wilayah keyakinan relijius. Tapi namanya juga pertarungan.
Pendukung rasionalisme menyatakan bahwa ada sesuatu yang namanya pengetahuan bawaan atau sumber awal (innate knowledge), sedangkan pendukung empirisme mengatakan sebaliknya, bahwa tidak ada pengetahuan bawaan atau sumber awal dan pengetahuan berasal dan terbentuk dari panca indera. Atau rasionalis mengklaim apa yang masuk dalam pikiran kita harus melalui akal dengan sumber bawaan yang sifatnya a priori (believing is seeing), sedangkan empirisis mengklaim apa yang masuk dalam pikiran kita hanya melalui panca indera (seeing is believing).
Kita tinggalkan sejenak dualisme konsep berpikir ini yang dalam wilayah filsafat kontemporer muncul lembali dalam bentuk dualisme: idealisme vs materalisme. Yang pertama cenderung bergeser ke rasionalisme dan yang satu lagi cenderung mengarah ke empirisme. Kita kembali ke petuah “Jangan menuhankan akal!”. Singkat kata, jika kita tidak diperbolehkan menuhankan akal, alternatif apa yang harus digunakan? Sayangnya kebanyakan petuah tidak tegas mengatakan jiwa atau hati (terlihat persoalan tumpang tindih makna antara jiwa dan hati disini tetapi hal tersebut adalah persoalan lain yang juga menarik untuk dibawa ke ranah linguistik selain filsafat sendiri). Oleh sebab itu saya berterimakasih kepada teman saya yang baik hati menyampaikan alternatifnya, yaitu “hati”.
“Hati” disini saya asumsikan dengan sumber bawaan yang a priori/non empiris yang Descartes sebut dengan jiwa (soul). Sekali lagi, terlihat persoalan linguistik yang tumpang tindih dalam makna-makna yang ada dalam kata “hati” atau “jiwa”. Saya asumsikan demikian karena “hati” disini dianggap lebih mulia daripada akal. Tentu saja saya tidak menggunakan makna hati sebagai konsep emosi seperti dalam frase “patah hati”, “luka hatiku”, “sakit hatiku” karena posisinya yang sangat lahiriah dan kurang “ilahi”. Lebih mulia daripada akal? Berikut ini penjelasannya.
Bayangkan kembali “berpikir dengan hati”. Coba “hati” ditukar dengan “jiwa” karena seperti penjelasan diatas yang dimaksud hati ini adalah sumber bawaan a priori (kadang persoalan tumpang tindih makna linguistik ini cukup menjengkelkan). Lalu bayangkan “berpikir dengan jiwa”. Sulit untuk membayangkan? Ya, konsep manusia berpikir dengan jiwa yang a priori memang sulit untuk dibayangkan.
Dilihat dari sudut pandang rasionalisme, akal yang dilengkapi dengan jiwa inilah yang digunakan untuk berpikir. Atau dari sudut pandang rasionalisme monisme, jiwa dalam akal inilah atau jiwa yang menyatu dengan akal akan memberikan kemampuan berpikir yang lebih baik (Yang menarik, Descartes cenderung memberikan penjelasan dualisme antara jiwa dan tubuh). Mungkin maksud berpikir dengan hati itu seperti ini, tetapi bisa dilihat disini bahwa tidak ada alternatif lain untuk berpikir selain menggunakan akal. Persoalannya seperti apa “akal” itu. Apakah seperti pemahaman rasionalis sebagai akal yang memiliki sumber bawaan a priori (dilengkapi dengan jiwa) atau empirisis sebagai sistem keyakinan kognitif yang terbentuk hanya melalui pengalaman inderawi. Tetapi sekali lagi manusia berpikir dengan akal, tidak dengan alat lainnya, apalagi hati.
Semoga penjelasan ringkas diatas bisa sedikit menggambarkan struktur berpikir yang lebih terstruktur sehingga bisa memberikan sedikit kejelasan terhadap persoalan yang muncul karena tumpang tindih makna linguistik dan persoalan konseptual. Untuk lebih jauh bisa dibuka sumber-sumber yang khusus membahas rasionalisme dan empirisme. Meskipun enggan, saya juga terusik untuk memberikan dua petuah: Jangan pernah salahkan akal, karena akal adalah manusia dan manusia adalah akal. Merendahkan akal berarti merendahkan manusia.
Semoga bermanfaat. Salam hormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H