Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menghina Tuhan!

25 Mei 2014   23:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tampak sebuah obyek berbentuk bulat pipih dihiasi tulisan dalam bahasa agama tertentu.

“Apa itu?” tidak sadar aku bertanya.

“Sebuah jim….”

“Jimat?”

“Ya seperti itulah.”

Kulihat lagi obyek itu yang terpasang di atas pintu sebuah toko yang baru saja dibuka. Praktek seperti ini sebenarnya cukup umum dijumpai di toko-toko terutama toko yang baru saja dibuka. Tentu saja alasannya berhubungan dengan praktek niaga atau lebih sederhananya supaya dagangannya laris.

Di kesempatan lain….

Tampak sebuah obyek panjang yang terbuat dari kayu yang bertuliskan bahasa agama tertentu.

“Apa itu?” tidak sadar aku bertanya.

“Sebuah pemberian.”

“Dari siapa?”

“Dari orang pintar.”

“Tujuannya pasti untuk menjaga rumah ini ya?”

“Ya. seperti itulah.”

Kulihat lagi obyek yang terpasang diatas pintu rumah seorang teman. Obyek itu tampak lebih sederhana dan tidak terlalu didekorasi dengan rumit. Tampak tulisan yang ada di obyek itu adalah tulisan tangan, mungkin tulisan tangan orang “pintar” tadi. Beberapa rumah di kampungku memang memasang obyek ini yang tujuannya bisa disimpulkan untuk menjaga keamanan rumah atau menjamin kemakmuran penghuni rumah.

Di kesempatan lain yang cukup lama….

Di TV tampak siswa-siswa yang akan menghadapi ujian nasional berdoa dengan khusuk. Bahkan beberapa diantara mereka, ada yang menangis terisak-isak. Setelah prosesi ritual yang tampaknya cukup melelahkan psikis dan menguras habis “kesadaran” mental siswa, siswa-siswa tersebut antri dan satu persatu diberi minuman dari sebuah botol yang tampaknya sudah diberi doa dari pemimpin ritual agama. Dan siswa-siswa tersebut membawa pulang gelas berisi air yang sudah didoakan tersebut ke rumah mereka masing-masing. Tentu saja tujuannya supaya mereka lulus ujian nasional.

Ada kesamaan dari ketiga praktek ritual metafisik, yaitu mencoba menghadirkan kekuatan metafisik dalam wujud-wujud materi yang berbeda-beda. Praktek pertama kedalam wujud obyek bulat pipih, praktek kedua kedalam wujud obyek panjang sederhana, dan praktek ketiga kedalam wujud air. Karena ketiga praktek tersebut menggunakan simbol-simbol agama, maka kekuatan metafisik yang coba dihadirkan disini tentulah Tuhan.

Disinilah salah satu letak persoalannya. Menghadirkan Tuhan. Tentu theis akan sepakat bahwa salah satu sifat Tuhan adalah ada dimana-mana (omnipresent). Bukankah praktek-praktek menghadirkan Tuhan dalam bentuk wujud materi menegasikan sifat Tuhan yang ada dimana-mana. Tentu saja sulit untuk dinalar jika Tuhan yang ada dimana-mana dirasa perlu untuk diwujudkan dalam bentuk materi. Praktek upaya menghadirkan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan tertentu ini justru akan membawa Tuhan terperangkap dalam simbol-simbol obyektif yang termanifestasi dalam “regulasi” sosial relijius. Kecuali ada pernyataan bahwa upaya mewujudkan atau menghadirkan Tuhan dalam simbol bisa tetap menjaga sifat omnipresent Tuhan dengan dalih bahwa simbol itu sekedar simbol. Tentu saja dalih tersebut harus disertai argumen yang kuat bahwa sifat omnipresent Tuhan bisa dijaga. Tetapi tentu saja perangkap “regulasi” sosial relijius membuat pendukung gagasan tersebut harus berpikir keras untuk melenyapkan munculnya “regulasi” obyektif relijius yang melekat (inherent) pada praktek-praktek semacam ini. ……Menyederhanakan Tuhan?

Persoalan lain adalah praktek semacam ini membutuhkan agen-agen untuk menjalankannya. Kebenaran obyektif relijius yang terwujud dalam struktur obyektif relijiuspasti dibutuhkan untuk melahirkan agen-agen yang dianggap memiliki “kompetensi” obyektif yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Potensi masalah ini seperti seseorang jahat yang menunggu diam dalam gelap, siap menerkam keimanan, justru keyakinan terhadap Tuhan itu sendiri yang seharusnya dimunculkan dari dalam diri. Dalam situasi diatas, sebagian bagian dari orang yang menunggu dalam gelap itu adalah justru diri kita sendiri!. Atau katakanlah orang ini adalah gabungan dari diri kita sendiri dan orang-orang lain karena kebenaran obyektif akan membuat kita masuk kedalamnya, menyatu dengannya dan menegasikan segala keberdayaan dan potensi kebenaran subyektif(1)…….Mengingkari anugerah Tuhan?

Persoalan lain adalah sifat keterwakilan Tuhan atau sejauh mana Tuhan bisa diwakili oleh kebenaran obyektif yang melahirkan agen-agen yang dibutuhkan untuk melakukan praktek-praktek tersebut. Mengingat jarak historis yang begitu jauh dari sumber agama, kebenaran obyektif berupaya keras membangun dan mempertahankan struktur bangunan “istananya” dengan pondasi-pondasi penilaian(2). Kecuali kebenaran intuitif Ilahi itu sudah terbukti dan teruji keefektifannya dalam wilayah publik secara historis materialis (3), maka tidak ada sandaran lain selain pada penilaian-penilaian tersebut yang dengan keras berusaha dijaga tingkat keakurasiannya dan tentu saja bentuk ini sulit menghindari dari kritik bahwa penilaian-penilaian tersebut tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan yang terikat ruang dan waktu.

Contohnya untuk kasus pertama, penilaian relijius obyektif tentu saja tidak bisa lepas dari praktek berniaga saat ini yang tentu saja dilahirkan dan tidak bisa lepas dari pengaruh sistem industrialisasi. Untuk kasus kedua, penilaian relijius obyektif tentu saja harus menempatkan dirinya pada arti dan pemaknaan keluarga (serta kemakmuran keluarga) yang tidak lepas dari kondisi pragmatis hedonis dunia kontemporer.Untuk kasus ketiga, penilaian relijius obyektif tentu saja harus mengikatkan dirinya pada sistem pendidikan dunia modern yang sayangnya dibelenggu oleh sistem kapitalisme berbasis pasar.(4)

Kecuali ada kekuatan besar yang benar-benar bisa melepaskan penilaian relijius obyektif dari ikatan-ikatan diatas (indutrialisasi, pragmatisme, hedonism, kapitalisme berbasis pasar), maka upaya-upaya mewujudkan Tuhan melalui simbol-simbol materi bukankan justru berarti memberi label entitas-entitas diatas pada Tuhan? Bukankah Tuhan sebagai wujud kebaikan mutlak akhirnya harus “dipaksa” mengalah pada entitas-entitas definitif diatas? Bukankah keMahaan Tuhan akhirnya terpaksa direduksi menjadi simbol-simbol diatas?….Bukankah itu menghina Tuhan?

Keterangan:

(1)Untuk penjelasan lebih jauh bisa ditemui dalam konsep kebenaran subyektif vs kebenaran obyektif (Soren Kierkegaard vs Hegel)

(2)Untuk lebih detailnya bisa ditemui di Concluding Unscientific Postcript-nya Soren Kierkegaard. Soren Kierkegaard menggunakan kata “approximation” untuk menerjemahkan “penilaian akurat” ini.

(3)Persoalan dan kontroversi seputar kebenaran intuitif yang diwakili oleh gagasan-gagasan mistisisme (atau sufisme).

(4)Konsep Gettel (enframing)-nya Martin Heidegger

(Pembahasan tulisan diatas diambil dari sudut pandang filsafat umum, terutama filsafat kontemporer, bukan sudut pandang agama tertentu. Kritik konstruktif tentu saja mendapat apresiasi dari penulis. Semoga bermanfaat)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun