Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kambing Kurban untuk Dosaku

5 Oktober 2014   19:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:17 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Aku kurbankan 4 ekor kambing,” katanya dengan nada bangga.

“4 ekor? Wuih berapa biayanya?” tanya Yudi yang duduk di sebelahku.

“ Kalau satu ekor dua juta. Kira-kira delapan jutaan ya Mir?” tanyaku ikut nimbrung.

“Ya sekitar itu lah,” jawab Amir sambil tersenyum bangga.

“Ah segitu sih nggak kerasa buat kamu kan?” tanya Yudi menggoda.

“Kerasa nggak kerasa itu relatif,” jawab Amir. “Untuk kali ini memang nggak kerasa. Nggak kerasa banget.” terusnya sambil tersenyum.

“Soalnya kerjaan lancar ya?” tanyaku sambil tersenyum juga.

Cukup lama Amir diam dan memandangku. Aku sejenak gelisah. Mungkin ada perkataanku yang keliru. Kami hanya diam. Setelah sebuah pickup yang membawa beberapa ekor kambing melintas cepat di sebelah kami, meninggalkan hamburan debu kering, Amir berkata pelan dan lesu, “Ah sudahlah. Aku akan ceritakan. Kalian ini lho lama-lama seperti menghakimiku” jawab Amir.

Yudi sama aku terdiam. Sejenak pandanganku menatap Yudi seakan-akan bertanya “siapa yang menghakimi?”.

“Aku barusan dapat proyek besar. Nilainya ratusan juta. Lumayan sih aku dapatnya sekitar puluhan juta lah. Tapi…..” tiba-tiba ceritanya terputus.

“Tapi…..” dia mengulangi lagi kata terakhirnya sambil terlihat ragu-ragu.

“Tapi apa Mir?” tanya Yudhi tidak sabar.

Sambil melihat di sekeliling, Amir justru bertanya, “Kalian bisa aku percaya kan?”

Aku dan Yudhi semakin bingung. Tampaknya ada sesuatu yang menggelisahkan Amir.

Amir adalah teman kami sejak kecil. Dia dilahirkan dari keluarga biasa yang taat beragama, Ayahnya yang seorang petani sederhana sering menjadi imam di musholla kampung kami. Masa kecil kami adalah masa-masa penuh kesenangan. Setelah mengaji kami biasanya bermain di sawah mencari belut atau sekedar mengejar dan mengganggu burung-burung yang sedang asyik memakan padi. Satu hal yang menarik saat itu adalah ketika senja turun dan matahari memperlihatkan taburan warna-warnanya yang kadang tampak lembut, kadang tampak gagah tetapi kadang tampak sedikit mengkhawatirkan, kami berhenti sejenak dan memandang ke arah tenggelamnya sang surya. Entah apa yang dipikirkan masing-masing temanku tetapi aku selalu ingat apa yang diajarkan oleh guru mengaji kami, ajaran-ajaran tentang ketuhanan. Ya Tuhan yang saat itu sulit aku pahami dan membingungkan……Lalu terdengar adzan maghrib dan kami berlomba lari, cepat-cepat pulang sebelum gelap mendekap kampung kami.

“Ah…sudahlah. Aku memang berdosa.” kata Amir pelan membuyarkan ingatanku yang melemparku jauh ke masa silam.

“Proyek itu maksudku. Kalian tahu kan jaman sekarang tidak ada proyek yang bersih. Suap sana suap sini. Bohong sana bohong sini. Ya..ya itu salah kalau ingat khotbah bapakku. Tapi semua orang melakukan itu. Kalau semua melakukan itu bukanlah itu tidak berdosa? Hmmmm…bukannya aku menyangkal apa yang dikatakan orang-orang di mimbar itu, salah satunya bapakku sendiri. Tapi menurutku dosanya itu lho. Dosanya pasti tidak besar dan Tuhan pasti bisa mengerti. Beda dengan zina atau dosa menyekutukan Tuhan atau dosa-dosa besar lainnya.” jelasnya panjang lebar, kemana-mana.

Sejenak Yudhi dan aku hanya diam. Nada terakhir teman kami Amir mengisyaratkan bahwa persoalannya bukan persoalan yang bisa dijadikan obyek senda gurau. Tapi itu yang membuat aku merasa tidak nyaman.

“Zina dosanya lebih besar dari suap?” tanya Yudhi pelan seperti mengarah ke dirinya sendiri.

“Ah sudahlah Yud….ya aku memang berdosa kalau itu membuatmu puas.” potong Amir cepat.

Aku menggamit lengan Yudhi dan menatap ke matanya mengirimkan pesan, “persoalannya jangan diperpanjang.”

Yudhi menghela nafas sebelum berkata, “Ya sudah maaf. Jadi maksudmu…”

“Ya maksudku kambing-kambing itu untuk menebus dosaku” kata Amir sambil menatap kosong ke langit yang biru dan kering. Kemarau tahun ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Debu-debu memenuhi jalanan. Pohon-pohon yang sudah sejak lama menggugurkan daunnya masih tampak berdiri berderet-deret di sepanjang jalan yang sepi ini bertahan sabar menunggu hujan seperti seorang kekasih yang ditinggalkan belahan hatinya yang pergi merantau di negeri yang jauh. Sungai dibalik bukit tidak lagi bisa disebut sungai karena lebih seperti cekungan yang berkelak-kelok. Tapi pasti suatu saat nanti air akan mengalir dari pegunungan yang tampak samar-samar dari tempat kami berdiri. Air yang membawa kembali kegairahan hidup. Seperti kekasih tadi yang akan lari memeluk belahan hatinya dengan bergairah ketika dia datang.

“Tuhan pasti mengerti” kata Amir pelan.

“Ya…Dia pasti mengerti” kataku menimpalinya untuk membesarkan hatinya tetapi dalam hatiku berkata, “Tuhan yang seperti itu pasti Tuhan yang sulit dipahami.  Bagaimana aku mencintaiNya jika sulit aku pahami? Cinta seperti itu pasti cinta buta bukan cinta rasional." ....Dan justru aku yang sibuk berdialektika dengan diriku sendiri.

(Kisah di atas fiktif dan hanya bertujuan menyampaikan apa yang disebut dengan persoalan atau dilematika teologi, dalam hal ini konsep ketuhanan.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun