Mohon tunggu...
Dee Hwang
Dee Hwang Mohon Tunggu... penulis -

Seorang pencerita lokalitas; Pemain Biola di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta. (dee_hwang@yahoo.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Optimalisasi Pendidikan Moral Pada Anak

31 Juli 2016   02:36 Diperbarui: 31 Juli 2016   02:56 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://67.media.tumblr.com/0a08a0d514b037c36e0485f6e24e3263/tumblr_n7e8qtXSnN1rs4xo7o1_1280.jpg

REDUKSI TAYANGAN TELEVISI & KUALITAS HUBUNGAN

Masih panas dalam ingatan, netizen ramai menyampaikan bela sungkawa; membuat komentar, memberikan dukungan, membuat petisi. Berbagai organisasi kemahasiswaan (KAMMI, BEM, dan sebagainya) dan organisasi kemasyarakatan perempuan turun ke jalan. Kaum sastrawan, pelukis, pelaku seni pada umumnya, menunjukkan solidaritas melalui karya-karya mereka. Media intens menyoroti reaksi masyarakat dan langkah pemerintah, memberikan wawancara bersama para ahli, menghiasi headline dengan berita-berita serupa. “Lilin-lilin kecil” ini tak lain simpai mendesak penegak hukum bertingkah adil, memberikan hukuman setimpal, membuat peraturan daerah tentang miras, pun mengesahkan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang dinilai lamban realisasinya.

Yuyun (14) korban tindak asusila di Padang Ulak Tanding, Bengkulu adalah berita utama; tragedi kemanusiaan yang tak terperihkan, mendengarnya saja bikin panas hati. Hal ini menjadi sorotan karena jumlah pelaku yang terbilang empat belas orang dengan tujuh diantara merupakan anak di bawah umur. Menyusul kemudian, kasus EP (18) yang meninggal setelah diperkosa dan dibunuh dengan gagang pacul yang dimasukkan ke (maaf) kemaluannya di Tanggerang dengan tiga orang pelaku yang tak lain orang dekat korban. Salah satunya bahkan masih berusia 16 tahun.

Maka macam “belum sembuh benar sudah dilukai pula”, kasus kekerasan seksual di bawah umur lainnya muncul kepermukaan, langsung diserbu, jadi perhatian membuat kesal kita makin menjadi. Fenomena ini menjadi alarm; anak-anak rentan pada tindak laku kejahatan sementara orang tua tak selamanya menggendong anak dalam dekapan. Pada sisi yang senada, ketidaktahuan pelaku di bawah umur akan baik buruk perbuatan yang dilakukan menempatkan mereka sebagai korban; mereka kehilangan hak sebagai anak yang butuh perlindungan, utamanya pemenuhan pendidikan moral. Padahal, pendidikan moral dibutuhkan untuk mengembangkan kecerdasan afektif individu agar bertindak selaras dengan kaidah moral dan diterima dalam lingkungan sosialnya.

*****

Konsep Determinisme Resiprokal oleh Albert Bandura, Psikolog pelahir teori belajar sosial, menjelaskan perilaku mempengaruhi seseorang dan lingkungan, pun lingkungan dan orang mempengaruhi terbentuknya perilaku individu. Ini berkaitan pada performa seorang anak yang ditunjukkan berdasarkan hasil belajar dari model-model sekitar.

Anak melihat, merekam, mengolah, dan menunjukkannya pada situasi yang dirasa sesuai. Sayangnya, berkembangnya teknologi dan makin lancarnya informasi melalui model-model simbolis melengserkan kesempatan orang tua sebagai live and verbal model. Menonton televisi, misalnya, yang dalam teori kultivasi adalah pendominasi model simbolis masa kini, dapat menjadikan penikmatnya cenderung menyamakan realitas di televisi dengan realitas di kehidupan sosial. Ini berbahaya, apalagi bila dalam keadaan yang sengaja dibiar-rodongkan tanpa penjelasan oleh orang tua, bisa jadi anak-anak memegang persepsi yang salah.

Tayangan-tayangan dengan konten tak mendidik (program acara, iklan, atau situs-situs tertentu) dapat menjadi penyakit dalam laku sosial; dekadensi macam kekerasan dan tindak asusila. Maka sebagai lapisan mikrosistem pada anak, keluarga adalah lembaga pendidikan informal yang memegang peran penting dalam mengenalkan theaddress of a yes ini melalui pendidikan moral.

Keluarga adalah model yang secara dekat berinteraksi dengan anak dan memiliki kemampuan kontrol; melakukan pembimbingan, memilihkan tayangan yang edukatif atau mengalihkan sumber informasi melalui cerita dan bacaan sehingga mampu mereduksi intensitas menonton tayangan miskin nilai. Selain itu, pendidikan moral dapat diberikan sebagai pengalaman belajar yang diejawantahkan secara konsisten melalui kegiatan sehari-hari. Orang tua dapat mentransmisikan nilai dengan penguatan, dalam konsekuensi hubungan horizontal mau pun vertikal; hubungan dua arah dalam kegiatan spritual atau komunikasi antar sesama. Pantang memberlakukan kekerasan fisik dan komunikasi yang buruk karena pemahaman tentang laku dan bahasa sangat diperlukan terkait konsep moral yang sifatnya abstrak.

Keluarga bukan hanya berfungsi dalam pemenuhan biologis anak, namun sebagai tempat persemaian nilai-nilai sebelum anak dilepas ke lingkungan sosial yang memiliki banyak tuntutan. Pendidikan moral pun tak hanya diberikan pada masa peka namun juga remaja. Tahap transisi-yang menjadi objek pemberitaan negatif media di Indonesia akhir akhir ini-, adalah fase ambivalensi dimana anak mulai mencari jati diri. Mereka berusaha menunjukkan kemampuan melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, dan membentuk identitas agar diterima sesama kalangan. Ini adalah masa rawan; salah tangkap realitas, masa depan anak akan hancur.

Orang tua hendaknya luwes dalam menyikapi ini. Misalnya, jangan permisif, pun, jangan membandingkan pengalaman masa remaja anda terhadap anak sehingga ini bisa menjadi pengekang. Jadilah seseorang yang dapat mereka percaya, sahabat terutama, dalam bertukar pikiran dan menjelaskan pendapat anda tanpa harus bersikap menggurui. Simpel saja, tahukah anda bahasa-bahasa gaul yang sering digunakan anak anda dalam percakapan? Siapa kawan yang biasa menghabiskan waktu bersamanya? Penting untuk dipahami bahwa pendidikan moral optimal diberikan tidak hanya berdasarkan intensitas pertemuan, tapi juga melalui kualitas hubungan.

Tripusat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa keluarga adalah pusat terpenting dalam pendidikan karakter dan budi pekerti seorang anak agaknya menjelaskan bahwa Pendidikan seks dan agama di sekolah atau peran pemerintah dalam mengesahkan perda miras atau RUU PKS tidak akan cukup bila kondisi belajar dalam keluarga tidak kondusif. Untuk membangun “generation with high morality” ini, maka rumus berada di depan (ing ngarso sing tuladha), di tengah (Ing madya mangun karsa), dan mengikuti dari belakang (tut wuri handayani) patut diaplikasikan dalam perjalanan belajar seorang anak. Dengan tertanamnya nilai, saya rasa kata-kata di bawah umur tidak terlampau gadang menjadi kata sakti yang menaikkan emosi, menenggelamkan rasa keadilan bagi korban kejahatan apapun itu.

******

(Tulisan ini pernah terbit di Harian Tribun Sumsel edisi Senin, 30 Mei 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun