Belum rampung menangkap arsian, Suwardi membuka matanya lagi. Rautnya celingak celingukan kali ini. Ini lebih ganjil dibanding ketika ia telentang-telungkup-telentang, memikirkan masalah asmara sebelum jatuh tertidur. Bagaimana tidak. Semula badan cungkringnya bergetar pelan, kemudian volumenya makin lepas dan besar (semisal menyanyi, tentu Suwardi akan punya vibrasi paling ngeri). Nyala dalam sentir timbul tenggelam. Apinya meliuk-liuk mengikuti irama. Grrrrr....
Gempa!
Ini terasa di mana-mana. Tidak hanya mengguncang ranjang, bahkan gegarnya terdengar di setiap sudut rumah; pintu lemari membuka-tutup, kursi kayu jatuh melintang, segala bingkai di dinding kompak berayun ke dua arah; melintang berlawanan. Hunian Suwardi macam berada di tengah arus sungai yang siap menenggelamkan. Ini membuat Suwardi menegakkan tulang punggung tanpa embel mengumpulkan nyawa. Ia sadar huniannya bukan kapal dari jenis kayu unglen; kokoh dan tahan lama, melainkan dari selembar kertas tipis yang sekali ciprak air langsung jadi bubur.
Ia berprasangka, seorang raksasa sedang mengayun-ngayun anak dalam gendongan. Saking bahagianya, sikunya membentur dinding kulit bumi berkali-kali. Atau dalam prasangka yang lebih sentimental jangan-jangan anak raksasa itu sudah besar dan nakal. Sekarang ia tengah mengintip dari lubang perut bumi, menemukan sebuah sarang, lantas menciptakan kegaduhan dengan melompat-lompat. Apa pun yang dilakukan untuk menunaikan omongan induknya bahwa di kerak bumi ada jangkrik yang bisa diadu bernama Suwardi.
Ah! Tapi tak mungkin. Suwardi itu kan manusia, dan manusia itu masih terbengong-bengong menatap refleksi pada cermin gantung yang ikut bergoyang-goyang! Gggrrrrr....ia hampir terjengkang dari ranjang. Untung kedua tangannya refleks mencengkram kasur. Namun kali ini bukan hanya kebingungan, gigi-gigi depan yang menghitam dan keropos akibat tembakau itu akhirnya menggerutup karena ketakutan.
Tanpa basa-basi, Suwardi bangkit dan menyeimbangkan badan. Sebelah tangan ia pegangkan pada dinding kayu menuju pintu, sebelahnya lagi melindungi kepala. Bisa muncrat isinya misal tertimpa balok induk dan pembagi dari langit-langit rumah, pikirnya. Suwardi merupa cecak yang pintar melata. Sesekali mungkin ia adalah manusia, karena menggunakan otak dan memikirkan hal masuk akal misalnya mempercepat langkah.
Mulutnya temat-temut membaca entah; mungkin menyumpahi tangan yang tak bisa berbohong. Setelah berhadapan dengan pintu, tangan itu malah sebeku batu! Kelima jarinya bahkan tak mampu memutar kunci yang tergantung di situ. Ia memutar-mutar paksa. Akhirnya bukannya terbuka, kunci itu malah terlepas dan terpelanting ke bawah meja.
Bersyukurlah Suwardi karena ternyata masih diberi keselamatan. Gempa berhenti, -usai Suwardi berlutut, merayau dengan tangan satu dan menemukan kunci bertipe double cylinder itu telah berselimut debu-, ia terduduk. Badannya basah pelu. Antara percaya tak percaya. Hati yang sebelum tidur amat gelisah kini tambah kelesah; Dari balik daun telinga, ia bahkan dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
Hening kembali. Kejadian barusan macam pengguna jalan yang numpang lewat saja! Namun dalam kelegaannya, Suwardi bertanya-tanya mengapa tak mendengar suara gaduh manusia lainnya. Sambil menyimpan jangan-jangan, ia membuka pintu dan mendongak ke rumah tetangga berjarak sekian meter. Dibiarkannya dingin menusuk tulang, meski kulit setipis kertas dan dekat dengan penyakit itu sudah dibalut dengan baju berlapis dua.
Suwardi, lelaki patah hati yang baru ditinggal kawin kekasihnya ini mendongak ke arah jarum jam di dalam rumah. Pukul satu lewat dua delapan. Demi pemenuhan kebutuhan, listrik yang biasanya diperoleh dari mesin genset di kampung ini memang hanya bertahan pukul sepuluh malam. Namun misal ada kejadian, tentu akan ada cahaya dan keributan, bukan? Hanya cahaya bulan yang remang, setia melingkupi kampung -pemukiman yang didominasi buruh pemetik teh keturunan jawa, dan kerap meramah tamahi para pendaki Gunung Dempo ini. Suwardi gelisah. Ia menduga akan ada gempa susulan. Nah, pikirnya, ia tak akan bisa tidur ini malam.
*****
Embun masih mendekap dedaunan Camelia sinensis ketika truk pengangkut buruh pemetik teh PTPN VII itu membelah pagi. Ada dua puluh tiga kepala di dalamnya. Suwardi ada di sana, berdiri di sebelah Kasman, tetangganya, setelah berkumpul pukul enam di sebuah titik penjemputan di tubir jalan. Di antara para pemetik teh itu, tampil pula para pendaki yang menumpang menuju afdeling IV dan meneruskan langkah menuju pintu rimba; titik pendakian pertama. Jumlah mereka lima orang.
Kasman terkantuk-kantuk. Sesekali pegangannya terlepas dari tepi bak truk. Kepalanya terantuk ke kepala Suwardi. Istri Kasman yang berbau asam dan dipunggungi olehnya itu tersenggol, kemudian ia menegur dengan penuh perintah. Kasman hanya menguap, mengerjap, mengusap wajah dengan kedua tangan yang telah disarungi.
Suwardi adalah lelaki yang sama iya, namun hari ini ia lebih tegar menahan kantuknya. Seakan lupa pada lain hal,-tentang jadwal tidur yang kacau balau, kepala yang sudah berantukkan namun nihil ekspresi, masalah-masalah seperti uang, keluarga, percintaan, duh, yang bikin gering hulu!-, pandangan Suwardi malah mengirap ke arah Gunung dempo yang hanya sejengkal pandang.
Tiga puluh tiga tahun hidup di dunia, beberapa jam lalu adalah pengalaman pertama Suwardi merasakan gempa. Bukan berarti alam pilih kasih, sampai tak tega pada Suwardi untuk berkenalan dalam konotasi yang begitu buruk seumur hidupnya. Meski Suwardi telah bekerja sebagai pemetik teh kelas buruh lepas selama satu semester, dan tangannya sudah terampil dengan rumus petik, ia belum pernah merasakan berdiri di atas tanah besemah yang bergoyang-goyang! Suwardi hanya tahu kata itu dari mulut ke mulut; cerita para pemetik teh di sela istirahat siang atau ketika pulang berjalan kaki, tentang aktivitas gunung Dempo yang naik turun.
“Wes. Rasah dipikirin. Sering gempa memang, gempa kecil. Aku semalam malah tidak merasakannya sama sekali.” Ulang Kasman seperti tadi pagi, ketika Suwardi menceritakan perihal gempa sambil menyeka sangkak yang terbit di tekuk badan. Untuk menunjukkan kesungguhan karena kawan baru dari tanah jawa ini nampak gelisah, Kasman memasang wajah iba pada para pendaki yang menggigil dan memeluk badannya sendiri. Alangkah malang dan sia-sia, karena mungkin jalur pendakian akan segera ditutup.
*****
Kasman berusia setengah abad. Ia tentu akrab dengan aktivitas di lereng gunung. Setelah menggeliat untuk mengendorkan otot, ia berkisah dengan luwes dan galib; ekspresinya datar mengiringi cerita. Katanya, gunung Dempo terakhir meletus di tahun 2006. Ini menyebabkan kerusakan pada beberapa sektor perkebunan. Teh. Kopi. Sayur mayur, semua kena. Penduduk dari beberapa wilayah siap melakukan eksodus karena sungai dicemari lumpur belerang dan air dari gunung kawah. Namun selama itu pula, Dempo belum mengerikan. Tak ada yang harus ditakutkan, karena aktivitasnya belum pernah bersifat magmatik.
Bukan tak menghargai hidup dan menggampangkan urusan mati. Dalam pikiran Kasman dan keturunan transmigran lain, Gempa yang paling besar dalam hidup kaum sub-proletar seperti mereka bukan berasal dari aktivitas gunung. Atas itu, ia telah lama menunjukkan kepasrahannya; modal setiap kepala yang bergantung hidup dari perkebunan teh ini. Ini lebih baik daripada tidak memilikinya sama sekali. Tak heran bahwa bahkan hubungan asimetris dengan pihak atas, telah menjadikan keturunan mereka menjalankan kedudukan setara; sebagai produk kebijakan rezim sebelumnya, generasi ketiga kini menjadikan pemetik teh sebagai karirnya.
Perjalanan setengah jam itu menghilangkan ruyup dari kelopak mata sesiapa. Matahari menyembul dari balik dada bukit, menabik hamparan teh berbatang pendek itu sebagai sumber kehidupan. Suwardi masih tenggelam dalam pikirannya. Ada yang ia sembunyikan di dalam kepala. Kasman menghentikan cerita ketika mobil truk kuning tersebut berhenti di sisi sebuah pondok penimbangan; sementara para pendaki melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, di sanalah seorang mandor petik dan asistennya akan mengawasi pekerjaan pemetik teh, menimbang hasil petikan, kemudian memberi upah borong alias sesuai hasil per kilogram.
*****
Para pemetik teh turun satu-persatu. Suwardi berencana turun paling terakhir. Ketika para pemetik teh duduk bersilah untuk memakan bekal masing-masing; mempersiapkan energi sebelum memanggul kinjar dan memetik teh berdasarkan kuantitas yang ditetapkan dalam pengarahan, entah bagaimana, rambang hati Kuswadi untuk turun. Sedari tadi matanya memang awas karena ada yang aneh dari atas gunung itu; Seorang anak raksasa melambaikan tangan ke arahnya.
Melihat Suwardi yang terenap, anak raksasa itu seakan bertingkah. Suwardi tergagap ketika tangan raksasa itu meraup benda merah cabai dari dalam kawah. Benda itu mirip kerikil, diselimuti nyala api dan membumbungkan asap putih. Anak raksasa yang telah muncul dalam prasangka Suwardi semalam, melompat senang sambil melemparkannya ke arah Suwardi. Ketika meluncur, benda itu mengeluarkan bunyi menjerkah-jerkah. Suwardi kaget bukan kepala!
Semua berlangsung sangat cepat. Truk pembawa buruh teh terkena lemparan dan langsung terbakar. Pondok penimbangan roboh dan menimpa manusia yang ada di bawahnya karena getaran. Beruntung Suwardi sudah melompat. Ia berlari, meringkuk di bawah rimbunan batang teh sambil mencengkram dedaunan, Pijakan mulai bergoyang-goyang; anak raksasa itu melompat-lompat karena Jangkrik bernama Suwardi ini ketakutan. Jangkrik! Dalam pandangan perkebunan teh sudah merupa lautan api. Mana sempat Suwardi memperhatikan dimana pemetikteh, mana mandor petik, apalagi asistennya yang sialan itu!
Mendapati Suwardi berkecumik tentang gempa, terkencing-kencing, sambil menutupi kepala usai disapa asisten mandor, Kasman dan istrinya saling cubit. Gosip laki bini ini semalaman tentang Suwardi akan gila karena ditinggal mantan kekasihnya yang menikah dengan asisten mandor itu terbukti benar. Mandor menepuk pundak asistennya yang serba salah. Para pemetik teh yang lain tak heran dibuatnya. Sungguh tidak ada gempa hari ini. Karena gempa yang dialami Suwardi itu berasal dari dalam dadanya sendiri.
*****
(Dimuat di Radar Bromo - Jawa Pos Group edisi minggu, 3 Juli 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H