Bagi Tar,-lelaki bergigi lima yang beroleh anak bujang di usia senja,- tidak ada yang lebih jenakah selain menyaksikan umpatan bujang tua sebelah rumah, bersahutan dengan petasan yang dilempar budak-budak di halaman belakang. Balas dendam macam hiburan baginya. “Wak Suram itu lah nyebut namo binatang bae.” Terkekeh ia berkata pada bininya yang membersihkan kembang unji dari sisa bakaran. Aromanya menguar mengalahkan bau badannya sendiri.
Tar mengintip dari kerang awangan[1], kalau-kalau wak suram keluar pagar dan mengacungkan parang. Tetapi, hanya suara tinggi yang menampakkan keberadaannya. Kemarahan wak suram yang tak dinyana mengarah kepada Tar pula, tentu karena budak-budak[2] itu–termasuk anak Tar yang berkepala botak- adalah bahan ocehan wak Suram di sana. Mereka cekikikan dan bersembunyi di balik birai tangga. Mereka memunggungi Tar yang tak mereka sadari, turut mengintip dari balik awangan.
Suara Wak Suram kian tinggi. Tar menggosok-gosok kedua tangannya macam baru mendapat rezeki. Makin gencar ia berkata-kata pada bininya. Katanya, karma memang ada di dunia ini, tapi kalau bisa menjadi karma itu sendiri, mengapa tidak? Sesekali, ia memuji anak bujangnya karena dianggap “lanang”. Bininya mengangguk saja, padahal di hatinya yang paling dalam, makin merutuk perempuan itu diam-diam.
*****
Bini Tar yang lebih muda dua puluh tujuh tahun itu membalas dengan anggukan malas. Ternyata, ocehan tentang bahaya petasan pada anak lelakinya tadi siang tak dihiraukan. Dalam hati, ia ingin menyeret anak lelakinya dan memarahinya habis-habisan. Tapi ia tidak bisa. Bukan karena ia tak punya mulut. Selain karena tanggung jawab perempuan tak bisa ditinggalkan, bukankah bermulut besar perkara memarahi budak tentu memancing perhatian orang?
Maka pikirnya, Jatuh -begitu ia memantau anak bujangnya-, akan ia nasehati usai bepenyap[3]. Lagi pula, bukankah suaminya memperhatikan tingkah budak-budak masa bermain sekarang? Mestilah Tar paham susahnya mendapat momongan, sehingga lelaki itu tentu tak akan membiarkan kenakalan Jatuh berlebihan. Bini Tar berharap agar Jatuh tak kelewat nakal hingga membuat celaka, atau Jatuh sendiri nanti yang celaka, karena tindakan berlebihan tentu magnet bagi sebatan sapu dari perempuan ini.
Bini Tar mempercepat gerak untuk menyelesaikan pekerjaannya. Usai dibakar, ia potong kembang unji yang lembut dan siap untuk ditumbuk. Sesekali ia melirik ke arah santan yang baru dijerang untuk kuah lileng. Ia kecilkan apinya karena teringat pesan orang tua, memasak santan jangan terlalu mendidih agar tak pecah pati. Lalu, ia letakkan ramuan memasak kotor di dekat tumpukan pinggan[4] yang barang lima belas menit akan dibasuh. Sesaat, perhatiannya teralih pada suara televisi di ruang tengah. Berita tentang popok bekas pakai yang dikondisikan baru dan dijual kembali membuatnya mual sendiri.
Ia menoleh ke arah suaminya. Wajah perempuan ini semasam kepayang karena Tar masih menertawai Wak Suram. Pastilah pertunjukkan dul muluk dianggapnya ada di depan mata, dengan Wak suram yang berperan sebagai wanita.
Kelakuan suaminya tak beda dari budak-budak. Dasar tukang main, tukang dendam, tuo dak nuo[5], hardiknya dalam gumam. Ai. Bini Tar hanya bisa menggumam gerutu, karena sesiapa paham bila istri sembarang bicara, dan tersinggung hati lelaki, bisa dipecut ia dengan tali. Ia pun menegur Tar dengan menunjuk ruang tengah, bahwa sebelum suara petasan dan rentetan nama binatang keluar dari mulut Wak Suram,- yang menjadikan Tar tukang intip di paun[6] kini - ada televisi yang tadi Tar jadikan kawan, dan lupa untuk dimatikan.
*****
Seorang lelaki menggosok-gosok dadanya. Sudah payah badannya, sekarang makin sempit nyawanya karena mendengar petasan dan teriakan Wak Suram yang saling sahut-sahutan.