Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menghadiri blogger gathering dari sebuah perusahaan yang bergerak dalam teknologi panel surya. Ada dua pembicara yang hadir, keduanya perempuan. Satunya menjabat sebagai manager RnD, sedangkan satunya lagi manager operasional.Â
Dua perempuan tersebut bercerita tentang bagaimana PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam skala rumah tangga, industri, hingga di sektor transportasi.Â
Saya terkagum. Dua perempuan hebat ini punya andil dalam terciptanya transisi energi. Hal yang patut diapresiasi, sebab selama ini seringkali perempuan menjadi kaum marginal jika membicarakan soal transisi energi.Â
Padahal, dalam kehidupan sehari-hari perempuan sangat bergantung dengan energi. Pekerjaan perempuan yang lebih banyak di sektor domestik, sangat berhubungan erat dengan energi yang digunakan. Semakin efisien energi yang digunakan, semakin cepat tugas-tugas domestik itu selesai.Â
Oleh karena itu, sudah saatnya perempuan terlibat aktif dalam proses transisi energi.Â
Jika dua narasumber di atas adalah perempuan hebat yang berkecimpung di sektor energi, bagaimana dengan saya? Apakah bisa saya yang seorang ibu rumah tangga ini mengambil peran dari proses peralihan energi fosil menuju ke energi baru terbarukan (EBT)?Â
Mengenal Transisi Energi
Menurut Badan Energi Terbarukan Internasional IRENA, istilah transisi energi mengacu pada peralihan sektor energi global dari sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil termasuk minyak, gas alam, dan batu bara ke sumber energi terbarukan seperti angin dan surya.Â
Transisi energi ini sangat penting untuk dilakukan. Selain karena terbatasnya bahan bakar fosil, tentu juga dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, penggunaan energi fosil yang menghasilkan emisi karbon juga mengancam kualitas hidup manusia itu sendiri.Â