Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang teman. Kami berteman di sebuah organisasi nirlaba. Layaknya teman yang nggak pernah ketemu, pasti lah saat bertemu kami saling bertukar cerita. Tak hanya bercerita tentang kondisi masing-masing, kami pun bertukar kabar teman yang lain.Â
Sayangnya, bukan kabar bagus yang kami bahas. Tapi kabar yang cukup mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Salah seorang teman yang rumah tangganya tampak sangat harmonis dan bahagia, nyatanya mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Bukan hanya sekali, perilaku KDRT suaminya ini terjadi berulang kali. Sang suami tak segan memukul ataupun melakukan siksaan fisik lainnya. Setiap KDRT, teman saya yang jadi korban ini lari ke tempat temannya.Â
Duh, kalau diingat-ingat lagi, cerita tentang teman yang mengalami KDRT ini adalah kali ketiga yang saya dengar. Sebelumnya, saya pun mendapati dua teman saya lainnya yang mengalami KDRT. Dan, semuanya memilih tetap bertahan. Menjalani rumah tangganya seolah tak ada apa-apa.Â
Kasus KDRT di Indonesia
Cerita KDRT dari ketiga teman saya ini hanya sebagian kecil saja. Â Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sepanjang 2023 (terakhir dikutip 14 September 2023), total keseluruhan jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus, dari angka tersebut korban terbanyak adalah perempuan yaitu mencapai 16.351 orang.
Data ini sungguh sangat memprihatinkan, ya. Bagaimana mungkin, rumah tangga yang seharusnya diisi dengan dua orang yang saling menyayangi, malah menjadi sumber petaka. Istri yang seharusnya disayang dan dilindungi, malah jadi samsak tinju luapan emosi suami.Â
Korban KDRT yang Memilih Bertahan
Kok bisa.Â
Itulah respon pertama saya setiap mendengar korban KDRT yang tetap memilih bertahan meskipun kejadian kekerasan itu tak hanya datang sekali.Â
Saya tak habis pikir, kenapa ya para perempuan yang sudah sakit dan terluka masih mau hidup bersama dengan suami seperti itu.Â
Bukan ketiga teman saya saja yang masih mau bertahan meski telah babak belur dipukul suaminya, kebanyakan para korban KDRT juga seperti itu.Â
Ada beberapa alasan mengapa perempuan tetap diam dan bertahan meski mengalami kekerasan. Pertama, merasa tidak berdaya. Saat mengalami kekerasan, banyak istri yang merasa tidak berdaya. Mereka tak kuasa melawan. Bahkan, takut situasinya akan tambah parah jika melawan.Â
Kedua, malu. Entah apa yang ada di benak korban KDRT ini. Apakah mereka tidak sadar bahwa yang seharusnya malu adalah pelaku KDRT, bukan korban. Korban KDRT malu untuk speak up. Mereka malu bahwa suami pilihannya ternyata suka main tangan.Â
Ketiga, ketergantungan ekonomi. Ini seringkali menjadi alasan terkuat mengapa istri tetap bertahan dengan suami yang ringan tangan. Tak punya sumber penghasilan sendiri membuat mereka rela bertahan meski rumah tangga bagai neraka.Â
Keempat, anak. Bila ini bercerai dari suami yang suka memukul, para istri takut akan masa depan anak-anaknya. Tak sekadar kesejahteraan anak, tetapi juga kondisi psikologis anak jika kedua orangtuanya bercerai. Demi anak tumbuh dalam keluarga yang utuh, tak apa ibu penuh luka. Miris.Â
KDRT Harus Dilawan
Sebagian istri mungkin merasa bahwa mereka harus bertahan demi kestabilan keluarga, takut akan potensi lebih banyak kekerasan atau ancaman. Namun, penting untuk menyadari bahwa bertahan tidak selalu merupakan solusi yang seseh, apalagi jika tak ada perubahan dari sisi suami. Rumah tangga yang penuh kekerasan tentu tidak bagus bagi kesehatan mental dan fisik istri.Â
Melawan KDRT bisa dilakukan dengan berbagai langkah, mulai dari mencari bantuan dari lembaga atau organisasi yang mendukung korban kekerasan domestik, seperti pusat krisis atau kelompok pendukung. Memberi tahu orang terdekat, teman, atau keluarga tentang situasi tersebut juga bisa menjadi langkah awal yang penting.
Pentingnya kemandirian ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Dalam beberapa kasus, istri yang mengalami KDRT mungkin perlu mencari sumber daya dan dukungan finansial agar dapat memutuskan hubungan yang toksik.Â
Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk mendukung dan melindungi korban KDRT. Pendidikan dan kesadaran tentang KDRT dapat membantu mengurangi stigma yang mungkin dialami korban, sehingga mereka merasa lebih bebas untuk melawan kekerasan tersebut.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada jawaban yang tepat untuk setiap situasi, dan setiap individu harus memutuskan jalur terbaik berdasarkan keadaan mereka. Tetapi penting untuk mencari bantuan dan dukungan jika menghadapi KDRT, karena tidak seharusnya korban harus menghadapinya sendirian.
Sekali lagi, KDRT harus dilawan. Jangan sampai korban KDRT bertahan hingga meregang nyawa. Saat suami melakukan KDRT, istri harus melawan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H