Hingga kini, Fira sudah mengajak 10 ribu perempuan di sekitarnya untuk terlibat bersama Semilir Ecoprint. Secara tak langsung, dia ikut andil dalam memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya.Â
Fira pun terus berinovasi. Mempelajari banyak hal baru tentang teknik ecoprint yang terus berkembang, termasuk mencari jenis-jenis tanaman yang tepat untuk digunakan sebagai bahan baku. Nampaknya, ilmu morfologi tumbuhan yang didapat di bangku kuliah, sedikit banyak membantu Fira dalam mengembangkan usahanya ini.Â
Kembangkan warisan budaya khas Bengkulu
Semilir Ecoprint terus berinovasi. Mulai tahun 2019, Fira tak lagi menggunakan kain untuk media ecoprint, melainkan menggantinya dengan kulit kayu lantung.Â
Kulit kayu lantung adalah wujud budaya tak benda dari Bengkulu. Fira sudah mengenal kulit kayu lantung ini sejak kecil, Bengkulu adalah kampung halaman ayahnya.Â
Biasanya masyarakat Bengkulu mendapatkan kulit kayu lantung ini dari pepohonan yang bergetah, seperti pohon karet hutan, pohon ibuh, dan terap yang sudah tua. Pohon-pohon bergetah ini tidak mudah rusak.Â
Sebenarnya, kulit kayu lantung ini sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia sejak tahun 2015. Namun, keberadaannya masih kurang dikenal secara luas oleh masyarakat. Inilah yang menjadi semangat Fira dalam menggunakan kulit kayu lantung sebagai media di Semilir Ecoprint.Â
Tak tanggung-tanggung, Fira melakukan riset yang mendalam tentang kulit kayu lantung ini. Tahun 2020, dia pun mendapat pendanaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI untuk meneliti kain lantung ini di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.Â
Perjalanan 250 km dari pusat kota Bengkulu tak sia-sia. Fira bisa melihat secara langsung bagaimana masyarakat setempat mengolah kain lantung secara tradisional. Jadi, kulit kayu lantung ini dipipihkan menggunakan alat yang bernama Perikai.Â
Perikai adalah alat pukul yang biasanya berupa tanduk kerbau atau kayu keras dengan ukuran 10 x 40 cm. Ketika perikai dipukulkan pada kayu lantung tadi, akan menghasilkan bunyi 'tung tung tung', dari sinilah masyarakat Bengkulu menamainya "kain lantung".
Dari lembaran kayu lantung yang hanya berukuran 10 x 20 cm, bisa menjadi kain berukuran 1 hingga 2 meter, setelah dipipihkan dengan perikai.Â