Hari ini, 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPS). Peringatan HPS ini dilakukan sejak tahun 2005 lalu. Saat itu terjadi ledakan di TPA Leuwigajah, Jawa Barat. Ledakan yang berasal dari gas metana dati tumpukan sampah. Ledakan tersebut membawa banyak korban. Dari bencana ini, kita semua belajar bahwa sampah bisa menjadi salah satu ancaman bencana yang nyata. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat untuk mulai peduli dengan pengelolaan sampah ini.
Peringatan HPS ini menjadi sebuah momentum meningkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Tak hanya itu, pastinya peringatan ini bisa menjadi semangat bagi semua masyarakat untuk mulai melakukan aksi nyata dalam mengolah sampah.
Indonesia Darurat Sampah
Masalah sampah masih menjadi PR besar bagi Indonesia. Sampah di Indonesia belum bisa tertangani dengan baik. Bahkan setiap tahunnya, jumlahnya semakin bertambah.
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total sampah di Indonesia tahun 2019 akan mencapai 68 juta ton dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9,52 juta ton.
Belum lagi jika membahas sampah plqstik. Di Indonesia, sampah plastik masih menjadi hal pelik yang belum bisa dipecahkan. Ini yang membuat Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia.
Pengelolaan sampah di Indonesia juga masih belum optimal  Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahunnya. Namun, merujuk data Sustainable Waste Indonesia (SWI) tahun 2017, dari angka tersebut baru 7 persen yang didaur ulang, sementara 69 persen di antaranya menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Lebih parahnya lagi 24 persen sisanya dibuang sembarangan dan mencemari lingkungan sehingga dikategorikan sebagai illegal dumping.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah menjadi kunci utama dalam menyelesaikan masalah persampahan ini. Tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH), mengangkat tema "Sampah Bahan Baku Ekonomi di Masa Pandemi". Mendorong munculnya pertumbuhan industri pengolahan sampah di tengah pandemi.
Tentunya sebelum bicara pengolahan sampah, kita perlu menengok kembali. Bagaimana pola pikir masyarakat Indonesia terhadap sampah? Apakah pola pikir tersebut sudah sesuai untuk menumbuhkan pengolahan sampah yang mendorong tumbuhnya industri pengolahan sampah?
Sampahmu Tanggung Jawabmu!
Selama ini, pola pikir masyarakat soal sampah hanya terbatas pada membuang sampah pada tempatnya. Meski tidak salah, pemikiran seperti ini belum membuat pengolahan sampah menjadi optimal. Membuang sampah pada tempatnya itu sama dengannya menyelesaikan masalah dengan masalah. Bersih di tempat kita, masalah di tempat lain : TPA.
Sampah-sampah yang berasal dari rumah tangga dan industri menumpuk di TPA. TPA sendiri masih banyak yang belum optimal dalam mengolah sampah. Ledakan di TPA Leuwigajah menjadi bukti, sampah yang tidak diolah bisa menjadi bencana.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pastinya adalah mendorong masyarakat untuk mulai sadar mengolah sampahnya sendiri. Mengubah pola pemikiran yang sudah lama, bahwa masalah sampah bukan hanya tanggung jawab petugas sampah semata. Tetapi perlu kolaborasi bersama.
Dimulai dari sektor rumah tangga. Setiap rumah harusnya sudah bisa mengolah sampahnya sendiri. Bagaimana caranya?
Bisa dimulai dengan menerapkan program rumah minim sampah. Sebisa mungkin berusaha untuk tidak menghasilkan sampah. Caranya melalui 3 M :
Mencegah :
Memilah
Tahapan selanjutnya adalah dengan memiliah sampah. Jangan lagi mencampur semua sampah menjadi satu. Pisah berdasarkan jenisnya. Pemisahan yang paling sederhana adalah memisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik. Pemilahan ini bertujuan untuk mempermudah proses pengolahan sampah.
Mengolah
Rumah tangga bisa mengolah sampahnya sendiri. Khusunya sampah organik. Dimana sampah organik inilah yang menjadi penyumbang terbesar jumlah sampah di TPA. Bahkan sampah organik ini juga yang menghasilkan gas metana. Pemicu ledakan di TPA Leuwigajah.
Mengolah sampah organik di rumah bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari mengubur sampah organik di halaman rumah, membuat lubang biopori, keranjang takakura, felita ataupun komposter drum biru. Semua bisa dipilih sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing rumah.
Bila sampah organik sudah diolah dengan baik, tentu tak ada lagi yang dibuang ke TPA. Ini bisa mengurangi jumlah sampah di TPA.
Sedangkan untuk sampah anorganik bisa disetorkan ke bank sampah. Atau membuat beragam barang kerajinan daur ulang. Tentu bila ditekuni dengan serius pasti akan menjadi sumber ekonomi yang menjanjikan.
Terakhir, untuk sampah yang tidak bisa dikelolah sendiri, baru dibuang ke tempat sampah. Sampah-sampah inilah yang nantinya dibuang ke TPA. Tentu jumlahnya sangat sedikit, karena sudah banyak yang dikelolah sendiri.
Mendorong Zero Waste Cities
Nampaknya menunggu kesadaran dan partisipasi aktif masayarakat dalam mengolah sampahnya sendiri belum cukup. Kesadaran masyarakat juga perlu didorong dengan upaya nyata. Salah satunya adalah melalui kebijakan dari pemerintah. Melalui kebijakan tersebut, masyarakat bisa dipaksa untuk mau mengolah sampahnya sendiri.
Inilah yang menjadi tujuan dari program Zero Waste Cities (ZWC) yang dilakukan oleh YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi). ZWC bertujuan membuat sistem pengolaan sampah yang sistematis, terukur, menyeluruh dan berkelanjutan. Zero Waste Cities melakukan kegiatan pemilahan sampah di kawasan, pengolahan dan pemanfaatan semua sampah yang terpilah sehingga mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.
Zero Waste Cities ini pertama kali diterapkan di dua daerah, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kemudian diikuti oleh beberapa daerah lainnya, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta.
YPBB tidak sendirian dalam mewujudkan Zero Waste Cities ini. Di Bali, Zero Waste Cities dikelolah oleh PPLH Bali. Sedangkan di Kabupaten Gresik dikelolah oleh Ecoton.
Program Zero Waste Cities ini membutuhkan peran pemerintah. Pemerintah punya tanggung jawab dalam mengelola sampah. Sesuai denga amanat Undang-Undang 18 Tentang Pengelolaan Persampahan, pemerintah memiliki peran dalam upaya pengelolaan sampah.
Menurut Anilawati Nurwakhidin, Koordinator Humas ZWC YPBB, Zero Waste Cities hadir sebagai terobosan baru dalam pengelolaan sampah kota. ZWC hadir untuk mendorong penerapan sistem pengelolaan sampah dari sistem kumpul angkut buang, menjadi desentralisasi dan Zero Waste.
Keberhasilan program ZWC ini bergantung dari keterlibatan pemerintah. Program ZWC ini tidak lagi menunggu kesadaran masayarakat dalam mengelola sampah. Melainkan mendorong adanya 'paksaan' dari pemerintah agar masyarakat berperan dalam mengatasi sampah yang dihasilkannya. Paksaan ini berwujud peraturan, khususnya di tingkat daerah.
Contohnya, kota Bandung dan Cimahi sebagai pilot project Zero Waste Cities sudah memiliki peraturan daerah yang terkait dengan pengelolaan sampah.
Selain itu pemerintah juga berperan dalam proses pelaksanaan program ZWC ini, misalnya dengan memberikan fasilitas kepada kader ZWC, alokasi anggaran untuk gaji kader ataupun pemberian insentif dan reward bagi semua pihak terkait.
Penerapan ZWC ini terbukti bisa mengurangi jumlah sampah yang dibawa ke TPA. ZWC membuat masyarakat bisa berpartisipasi aktif secara konsisten untuk memilah sampahnya. Tentunya ini akan membuat upaya pengolahan sampah menjadi lebih optimal.
Persoalan sampah bisa segera diatasi tanpa harus menunggu kesadaran dari masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat menjadi motor penggerak masyarakat dalam memilah sampahnya.
Berikut adalah gambaran bagaimana program ZWC ini bisa mengatasi persoalan sampah secara optimal.
1. Setiap rumah memilah sampahnya menjadi dua : sampah organik dan sampah anorganik.
2. Petugas sampah akan mengambil sampah yang sudah dipilah. Sampah organik dimasukkan ke dalam ember. Sedangkan sampah anorganik dimasukkan langsung kedalam gerobak sampah.
3. Selanjutnya sampah akan dibawa ke titik kumpul yang sudah disepkati oleh warga. Sampah anorganik dikumpulkan untuk kemudian dijual, hasilnya sebagai tambahan penghasilan bagi pengelola sampah.
Sampah residu akan dibuang ke TPS terdekat. Sedangkan sampah organik dikelolah oleh masayarakat. Â Hasilnya bisa menjadi pupuk yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Mewujudkan ZWC ini bisa dimulai dari tingkat RW. Tidak harus menunggu pemerintah daerah dulu.
Jika ketua RW mau membuat peraturan memilah sampah, warga pasti menurut. Seperti pengalaman saya saat ketua RW menghimbau agar warga mengumpulkan minyak jelantah. Ketua RW meminta warga tidak membuang minyak jelantah sembarangan, melainkan diletakkan dalam botol yang selanjutkan setiap bulan akan diambil oleh pengepul jelantah.
Bila ZWC sudah berhasil ditingkat RW, maka ini bisa menjadi modal untuk mendorong pemerintah daerah agar membuat kebijakan yang terkait dengan program ini. Ini juga yang sebelumnya dilakukan di Bandung dan Cimahi. Dua kota yang menjadi pilot project ZWC, dimulai dari tingkat RW terlebih dahulu.
ZWC mendorong masyarakat melakukan pemilahan sampahnya dari kawasan. Dimana ini menjadi langkah yang mudah dan solutif dalam mengatasi permasalahan sampah yang ada.
Semoga di momentum peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2021 ini, masyarakat dan pemerintah saling bersinergi mewujudkan Zero Waste Cities.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H