Satu bulan berlalu, Dena bersiap menempati rumahnya di kota ia bekerja. Artinya, ia pun harus bersiap hidup berdua dengan anaknya. Suaminya akan pulang satu bulan sekali karena padatnya jadwal pekerjaan di kota lain. Sekarang, Dena dan suaminya berjarak sehari semalam perjalanan darat.Â
Satu bulan, dua bulan dan enam bulan berlalu. Tiba-tiba usia anaknya menginjak satu tahun. Ada satu kejadian yang tidak akan dilupakan Dena sumur hidupnya.
"Apa gak bisa minta ijin pulang lebih awal? Anak kamu ulang tahun loh. Ulang tahun pertama. Minggu depan".
"Maaf, sayang. Gak bisa. Kalau gak mau ngerayain tanpa aku, bisa kan bagi nasi kuning aja," suara di seberang terdengar di tengah sibuknya jemari mengetik papan tik komputer.
"Setidaknya kamu bisa pulang," ucap Dena masih merajuk.
Percakapan alot itu berujung pada keputusan suami Dena yang tidak bisa pulang cepat. Suasana hati Dena semakin memburuk. Ketika ia lelah mengurus anaknya sendirian, ia merasa sendiri ketika hatinya sedang kacau.
Perasaan itu terus ia pendam sampai anaknya berusia dua tahun. Usia di mana seorang anak mampu memahami berbagai hal. Ternyata, semakin dipendam, semakin perasaan benci menguat. Dena menjadi pribadi yang mudah marah kepada anaknya. Anak kecil yang belum paham mana benar dan salah.
"Ih, adek kok ngompol lagi sih. Uda diajarin bilang 'pipis' masih aja ngompol," gerutu Dena malamm itu.
Di tengah lelahnya fisik setelah seharian beraktivitas di kantor, ia harus melawan rasa kantuk di malam hari demi menemani anaknya. Seringkali ia tertidur selepas magrib dan terbangun karena sentuhan si kecil yang terus memanggil.
"Bu..bu..," suara pelan itu terdengar
"Apa dek?" Dena menjawab sekenanya dengan mata masih menutup.