Aku masih belum beranjak dari tempat ini. Sudah satu jam yang lalu mataku menatap punggungnya. Derap langkah kaki di sekelilingku serupa hembusan angin malam. Dingin. Senyap.
***
Empat tahun berlalu. Cukup lama bukan? Ah, tidak juga. Bagimu empat tahun sangat singkat untuk berkelana. Entah apa yang kau cari. Hingga kini pun aku masih tidak mengerti jalan pikiranmu. Kamu tenar. Siapa sih yang tidak mengenalmu? Kamu pintar. Aku selalu kalah berdebat denganmu. Kamu bisa memiliki apapun. Ya, termasuk membeli hati setiap orang.
beep...beep...
Satu notifikasi email masuk.
"Hai... Apa kabar? Oh, tidak. Betapa kurang ajarnya aku ini memulai percakapan dengan bertanya kabarmu. Tetapi, meminta maaf saja tidaklah cukup. Jadi, apa kamu punya waktu? Minggu depan aku terbang dari Uttrecht." Ori
Ada perasaan kacau saat membaca surelmu. Aku cukup senang membacanya. Empat tahun aku menahan keinginan untuk sekadar berucap "Hai, Halo, Sehat?"Â kepadamu. Tetapi jemariku selalu menolak melakukannya. Dan hari ini, aku mendapatnya darimu.
"Kamu bisa melihat sendiri kabarku saat bertemu nanti. Setahuku kamu tinggal di Belanda. Jadi, bawakan aku keju dan benih bunga tulip".Â
Your message has been sent.
Aku kira ini adalah hembusan nafas paling berat yang pernah aku rasakan.
***