Aku masih belum beranjak dari tempat ini. Sudah satu jam yang lalu mataku menatap punggungnya. Derap langkah kaki di sekelilingku serupa hembusan angin malam. Dingin. Senyap.
***
Empat tahun berlalu. Cukup lama bukan? Ah, tidak juga. Bagimu empat tahun sangat singkat untuk berkelana. Entah apa yang kau cari. Hingga kini pun aku masih tidak mengerti jalan pikiranmu. Kamu tenar. Siapa sih yang tidak mengenalmu? Kamu pintar. Aku selalu kalah berdebat denganmu. Kamu bisa memiliki apapun. Ya, termasuk membeli hati setiap orang.
beep...beep...
Satu notifikasi email masuk.
"Hai... Apa kabar? Oh, tidak. Betapa kurang ajarnya aku ini memulai percakapan dengan bertanya kabarmu. Tetapi, meminta maaf saja tidaklah cukup. Jadi, apa kamu punya waktu? Minggu depan aku terbang dari Uttrecht." Ori
Ada perasaan kacau saat membaca surelmu. Aku cukup senang membacanya. Empat tahun aku menahan keinginan untuk sekadar berucap "Hai, Halo, Sehat?"Â kepadamu. Tetapi jemariku selalu menolak melakukannya. Dan hari ini, aku mendapatnya darimu.
"Kamu bisa melihat sendiri kabarku saat bertemu nanti. Setahuku kamu tinggal di Belanda. Jadi, bawakan aku keju dan benih bunga tulip".Â
Your message has been sent.
Aku kira ini adalah hembusan nafas paling berat yang pernah aku rasakan.
***
Cahaya senja semakin jelas. Ia begitu angkuh melihatku. Senja terus mengingatkanku bahwa gelap akan datang. Aku sedang berusaha menghentakkan kaki ketika tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
"Jean," serunya.
"Aku kira kebiasaanmu datang terlambat hilang semenjak tinggal di negeri van oranje," ledekku kesal.
"Maaf,"Â
Dan untuk kesekian kali aku luluh melihat mata teduhmu.
Lima menit menuju gelap, masih duduk di depanku. Aku mendapat tiga bingkisan.
"Kenapa ada tiga? Aku hanya memesan keju dan benih tulip. Dan kotak ketiga, apa ini?" tanyaku tanpa berhenti.
"Bisakah kamu membuka kotak bergambar hello kitty lebih dulu?" ujarnya.
Aku merobek pembungkusnya. Meskipun bergambar kartun favoritku. Ah, aku tidak peduli. Sobekan kertas menjadi perantara kemarahanku selama ini. Dan terbukalah kotak itu.
Sebentuk cincin putih berhiaskan ruby.
"Apa ini?" aku mulai gusar.
"Sebodoh itukah kamu semenjak aku pergi? Itu cincin," jawabnya tertawa.
"Kenapa mengejekku? Ini maksudnya apa? Dan..." belum selesai aku berkata.
Ori mengambil cincin dan menyematkan ke jariku.
"Empat hari lagi aku akan datang melamarmu". Ujarnya mantap.
"Dari mana kamu tahu kalau aku jomblo?"
"Dari wajahmu saat menyobek kertas dan melihat isinya,"
Ah, aku merasa semua darahku ada di kepala. Pipiku merona.
Lima menit berlalu. Senja pergi sambil menyisakan senyumnya. Dan juga kejutan darinya. Kami masih saja duduk berhadapan. Tanpa suara. Kami merindukan tatapan mata yang bertemu empat tahun lalu.