Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Prosesi Kebangsaan Perenungan Bung Karno

6 Oktober 2014   20:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:10 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjelajahan di Indonesia tak akan pernah ada habisnya. Negara kepulauan dengan keindahan pesona alam, kekhasan kuliner, keramah tamahan masyarakat dan tentunya keragaman budaya selalu menarik bagi setiap orang. Suatu daerah dapat dipastikan berciri khas tertentu dari daerah lain. Terlebih lagi koleksi flora dan fauna Indonesia yang belum tentu terdapat di benua lain. Pantas saja kalau banyak orang kagum pada kekayaan Indonesia.

Bermimpi keliling Indonesia. Rasanya bukan sekedar mimpi murahan. Nyatanya wisatawan mancanegara rela merogoh kantong demi menikmati Indonesia. Jika dihitung - hitung, berkeliling Indonesia dengan berwisata ke luar negeri, pasti pilihan pertama akan menghabiskan biaya lebih mahal. Suatu kali saya pernah berharap dapat mengunjungi wilayah timur Indonesia. Dan satu tahun kemarin saya benar - benar berada di sana, Pulau Flores.

Pulau ini memang kecil, tapi pesona alamnya begitu luar biasa. Setiap pandangan mata dimanjakan dengan hamparan laut biru kehijauan berpadu pasir putih. Gradasi warna yang sempurna sekali. Bahkan di pantai sekalipun, kita disuguhi perbukitan nan hijau. Secara geografis, daratan Flores berbukit - bukit. Bahkan dari pesawat, jarang sekali nampak hamparan dataran rendah seperti halnya di pulau Jawa.

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="pantai di Flores"][/caption]

Salah satu kota terbesar di Flores yakni kabupaten Ende. Kota ini pernah menjadi persinggahan Bung Karno dalam pengasingan sebelum kemerdekaan. Di sinilah Pancasila dilahirkan dari pergumulan pemikiran Bung Karno yang konon tengah duduk di bawah pohon sukun bercabang lima. Jumlah cabang inilah yang katanya mengilhami kelima sila pada Pancasila. Sekarang kita dapat melihat kehidupan beliau di sebuah bangunan yang disebut Rumah Pengasingan Bung Karno, tepatnya di daerah Ambugaga. Di dalamnya terdapat perabot rumah tangga semasa beliau tinggal lengkap dengan foto - foto yang terpajang rapi di dinding.

14125767232002846189
14125767232002846189
perabot di rumah Bung Karno
14125768891918047736
14125768891918047736
Foto Bung Karno bersama istrinya, Inggit Ganarsih
14125902791089955489
14125902791089955489
14125901881786062532
14125901881786062532

[caption id="attachment_364410" align="aligncenter" width="300" caption="Patung Perenungan Bung Karno"]

14125953191084686517
14125953191084686517
[/caption]

Ende, sebagai kota yang menyaksikan lahirnya Pancasila tentu menjadi sorotan paling unik dan pula sebagai kenangan sejarah pengasingan Bung Karno. Bung Karno diasingkan oleh Belanda pada 15 Februari 1934 - 24 Oktober 1938 di kota Ende, Nusa Tenggara Timur. Diceritakan beliau berlabuh di pelabuhan Ende, yang pada 31 Mei diresmikan menjadi Pelabuhan Bung Karno. Kemudian beliau menikah dengan seorang wanita bernama Inggit Ganarsih.

Kesatu paduan sejarah ini membentuk sebuah prosesi di masyarakat Ende. Peringatan hari Pancasila pada 01 Juni di Ende menjadi begitu berbeda dari tempat lain. Pasalnya ada sebuah prosesi kebangsaan nan sakral dilaksanakan, bernama Prosesi Kebangsaan Perenungan Bung Karno.

Prosesi ini diselenggarakan semenjak Wakil Presiden Indonesia, Boediono, bersama Taufik Kiemas mengunjungi Ende. Tepatnya di tahun 2013 mereka memperingati hari Pancasila dan disambut dengan kegiatan tari gawi massal.

Ada yang unik dari prosesi kebangsaan kali ini, yaitu terbaginya acara menjadi prosesi laut dan prosesi darat. Prosesi laut dimulai dari Pulau Ende kemudian berlayar menuju pelabuhan Ende. Menggambarkan ketika Bung Karno pertama kali berlabuh di kota Ende.

Prosesi darat merupakan prosesi yang cukup panjang berupa perarakan simbol Bung Karno. Ketika sampai di pelabuhan Ende, peserta prosesi yang terdiri dari jajaran pemerintah dan masyarakat diterima dan diiringi sapaan adat berupa lagu Ende "Deku Du Dengu". Kemudian deklarasi nama pelabuhan Ende menjadi pelabuhan Bung Karno. Dari Pelabuhan Ende, perarakan menuju POM Ende, tempat di mana Bung Karno pertama singgah. Kemudian dilanjutkan ke situs Bung Karno, sebuah rumah di mana Bung Karno diasingkan. Peserta prosesi kembali disapa dengan tarian adat "Nai Sao". Selama beberapa saat, berjalan sebuah acara adat "Wau Sao" dan diantarkan sebuah tarian bernama "Orowoko" sampai di pertigaan jalan Pahlawan.

1412577155519318545
1412577155519318545
Tarian Nai Sao
Perarakan dilanjutkan menuju Gedung Imakulata. Gedung ini merupakan tempat pementasan naskah Tonil yang bercerita tentang sebuah drama perjalanan Bung Karno di Ende. Naskah Tonil ditulis sendiri oleh Bung Karno dan dipajang di dalam rumah pengasingan Bung Karno.
14125772761547850037
14125772761547850037
Pementasan Tonil
Tujuan berikutnya ialah makam Ibu Amsi, beliau adalah ibu mertua Bung Karno. Ibu Amsi berperan penting dalam kehidupan Bung Karno selama pengasingan. Berdasarkan cerita masyarakat, sekalipun Ibu Amsi sudah cukup usia dan sering sakit - sakitan, beliau selalu memperlihatkan semangatnya. Beliau mengingatkan anaknya, Inggit, untuk memberi semangat pada Bung Karno. Suatu ketika, beliau menemui Bung Karno duduk murung di belakang rumah. Segera beliau mencari Inggit dan memintanya berhenti dari pekerjaan yang sedang dilakukan untuk mengajak bicara Bung Karno. Ibu Amsi menjadi salah satu penyemangat Bung Karno mewujudkan impian semasa pengasingan. Wajar saja jika Bung Karno rela menyiapkan tempat pemakaman khusus ketika Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dan Karesidenan Ende melarang jenasah Ibu Amsi dikubur di wilayah dalam kota (Ambugaga dan sekitarnya).

Malam harinya, acara berlanjut di Lapangan Pancasila. Tarian "Neku Wenggu" menyambut peserta. Kemudian ada ungkapan kebesaran Bung Karno dengan bahasa adat setempat tentang sila - sila Pancasila dan penyalaan Obor Pancasila dan dilanjut dengan pengucapan Pancasila diikuti seluruh peserta. Acara puncak berlangsung menjelang tengah malam berupa renungan suci di pelataran pohon Sukun.

Ende tak hanya terkenal dengan eksotika alam dan adat istiadat masyarakatnya. Orang - orang pasti tahu Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna dan kain tenun khas Ende. Namun jangan lupa bahwa sejarah mencatat Ende sebagai lahirnya Pancasila, sebuah dasar Negara. Berwisata ke kota Ende, kita mendapat satu kemasan lengkap, yakni wisata alam, wisata budaya serta wisata sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun