Karena diterima oleh staf Ibu Itet saja, kemudian aku menyerahkan surat sikap aku. Surat itu berisi bahwa aku hanya mau berunding langsung dengan Ibu Itet, tidak dengan stafnya. Aku memberi batasan waktu bila sampai tanggal 15 Agustus 2011 tidak ada perundingan, maka aku akan menempuh jalur hukum.(lihat lampiran).
Jadi, selain aku di-PHK, aku juga harus menerima kenyataan tidak mendapat gaji bulan Juli ini (diterima tanggal 1 Agustus). Dalam bulan Agustus ini aku hidup tanpa gaji. Aku mempunyai anak, aku  juga harus memeriksakan kehamilanku, memenuhi asupan gizi janin yang ada dalam kandunganku. Aku juga memperkerjakan PRT, yang akhir bulan ini harus aku gaji, memberi THR, dan ongkos mudik. Bu Itet telah menahan gaji aku.
Sampai tanggal 15 Agustus 2011 ini Ibu Itet tidak mau berunding langsung. Hanya stafnya mengirim sms yang berisi bahwa Ibu Itet memberi kuasa kepada stafnya untuk melakukan perundingan kepadaku. Dengan skema tawaran yang tetap seperti semula, seperti tercantum dalam konsep surat PHK sepihak tanggal 3 Agustus 2011. Sebuah sikap anggota Dewan yang tidak mau rendah hati, harusnya mau berunding dengan bawahannya.
Aku tidak mau berunding dengan stafnya karena stafnya tidak bisa memberi keputusan. Aku berkeinginan agar Ibu Itet secara langsung bisa menyelesaikan persoalan ini, bukannya malah menghindar.
Sungguh disayangkan bahwa alasan Ibu Itet memecat aku karena alasan kehamilan. Alasan lainnya karena Ibu Itet berpegang pada ketentuan Setjen DPR RI bahwa Staf Ahli setiap saat bersedia di-PHK bila anggota Dewan menghendaki.
Ibu Itet lupa bahwa aturan Setjen DPR tersebut melanggar UU 13 tahun 2003. Aturan Setjen DPR tersebut sangat merugikan staf ahli, yang dalam hal ini adalah pekerja. Dalam kasus aku jelas disebutkan dalam UU 13 tahun 2003 pasal 153, ayat 1 point e bahwa pengusaha (pemberi kerja) dilarang melakukan PHK kepada buruh/pekerja perempuan yang sedang hamil, melahirkan.
Ibu Itet juga telah melakukan pelanggaran Peraturan DPR RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Kode Etik DPR RI pada bagian Integritas Pasal 3 Ayat (5): Anggota DPR RI tidak diperkenankan mengeluarkan kata-kata serta tindakan yang tidka patut/pantas menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, baik di dalam gedung DPR RI maupun di luar gedung DPR RI. Karena Ibu Itet seringkali mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat dan harga diri stafnya.
Dengan kenyataan ini aku akan menyatakan sikap dan akan memperjuangkan keadilan:
- Bahwa Ibu Itet Tridjajati, anggota DPR RI Komisi X (no anggota A-330), telah melanggar sumpah dan janji sebagai anggota DPR RI. Selain melanggar Pancasila sila 2, Ibu Itet juga melanggar peraturan perundang-undangan, terutama UU no 13 tahun 2003
- Bahwa Ibu Itet Tridjajati telah melanggar kode etik anggota DPR RI, juga etika, moral, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Tindakan Ibu Itet Tridjajati sungguh tidak menghormati hak reproduksi bagi perempuan. Seharusnya Ibu Itet menghormati Hak reproduksi bagi perempuan karena hak reproduksi adalah hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap manusia yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya. Bahwa setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Bahwa setiap perempuan mempunyai hak untuk memutuskan kapan dan akankah mempunyai anak.
- Bahwa Ibu Itet Tridjajati telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Sebagai Anggota Dewan harusnya dia berperilaku adil terhadap pekerja perempuan. Ibu Itet lebih memilih mem-PHK pekerja perempuan hamil dan menggantinya dengan pekerja laki-laki.
- Aku akan memperjuangkan hakku melalui jalur hukum.
- Aku juga akan memperjuangkan keadilan bahwa perilaku Ibu Itet Tridjajati harus menjadi koreksi pimpinan DPR RI. Apa yang dilakukan oleh ibu Itet Tridjajati harus mendapat teguran dan hukuman. Langkah itu sebagai pembelajaran bagi anggota Dewan demi tegaknya etika, moral dan kepatutan anggota DPR RI.
- Memperjuangkan agar aturan Setjen DPR RI berkaitan dengan pekerja (asisten pribadi, tenga ahli) lebih menghormati UU dan peraturan yang berlaku di RI. Peraturan Setjen DPR RI tidak mencantumkan hak normatif pekerja karena tidak memuat ketentuan THR, PHK, Jam Kerja, Lembur, Cuti, Libur, Pesangon, Jaminan Sosial (semisal Jamsostek). Peraturan Setjen DPR RI berpotensi menjadi pijakan anggota Dewan yang lain untuk memperlakukan stafnya secara semena-mena dan melanggar UU Tenaga Kerja.
Jakarta, 17 Agustus 2011
Nurely Yudha Sinaningrum