Kini, masjid itu terlihat sepi. Tak ada aktivitas. Waktu telah dipenghujung kumandang Jum'at. Toa yang tegak berdiri pun tak berdesir. Catatan itu masih aku ingat. Mendengarkan sang khatib berkhutbah, kemudian menuliskannya.
Namun, kini masjid itu yang memberikan catatan. Sholat Jum'at untuk ditunda sementara waktu. Dan digantikan Sholat Zuhur di rumah.
Saya duduk di selasar anak tangga. Panas terik di ujung jidat. Membuat butiran keringat menetes, tak kurasa. Aku menahan haru dalam sepinya batin. Ditengah gersangnya spiritual yang aku rasa. Tepat di ujung ubun. Aku tak mampu menahan sedih, keringat pun tercampur oleh lelehan air mata.
"Pak ustad, bisa tidak aku duluan yang dapat tanda tangan? Aku siap hapalan," aku mengingat masa kecil yang ramai itu. Aku seka keringat bercampur air mata.
Seseorang di dalam masjid menyambut. Tak mencoba deru toa yang telah bertengger cukup lama di atas menara gagah itu. Sampai terlihat kilaunya diterpa panas. Ia terdiam sejenak, di depan mix yang juga sepi. Tak bervolume. Sesaat kemudian ia lantunkan suara adzan dalam kesepian. Tepat di pukul 12.15 WITA.
(Duh Gusti, Ngapunten. Bisa tidak Ramadhan kali ini diundur?) []
Samarinda. Jum'at, 10 April 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H