Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belawan dan Putus Sekolah

22 Desember 2021   13:51 Diperbarui: 22 Desember 2021   13:54 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di Sumut yang didominasi etnis Melayu, dan etnis-etnis yang lebih banyak berdiam di pesisir pantai seperti Belawan adalah etnis Melayu Pesisir. Itu artinya, fenomena perkawinan anak dan masalah sosial di sana tidak lepas dari unsur budaya. Bahwa etnis Melayu pesisir hidup dalam banyak pameo yang menempatkan anak perempuan lebih rendah derajatnya dari laki-laki. Pameo seperti "buat apa sekolah tinggi-tinggi toh ngurus suami juga, toh ke dapur jua," 

Belum lagi, etnis Melayu pesisir suka endogami atau menikah dengan sesama sukunya. Mereka juga hidup dalam konstruksi pandangan orang lain yang menyebut mereka sebagai pemalas. Mereka mengaminkannya tanpa berusaha membantah atau menentang. Paradigma lama ini diwariskan secara turun temurun, sehingga mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Jadi faktor budaya sangat menyumbang tingginya praktik perkawinan anak di ujung kota metropolitan Medan.

Meski demikian, buku ini tidak melulu mengupas soal kisah-kisah dramatis, yang bisa menguras air mata. Buku ini juga memuat cerita-cerita positif. Bagaimana sosok-sosok biasa seperti Dede Atika, yang hidup di lingkungan kumuh tampil menjulang sebagai perawat yang turut berjuang melawan pandemi Covid-19 di Rumah Sakit Wisma Atlet Kebayoran.

Atau anak miskin bernama Alfi Musaitir, dari tepian laut Belawan ia kemudian mengejar cita-citanya bersekolah  di sekolah pelayaran di Politeknik Pelayaran Malahayati, Aceh. Ada kisah pemulung seperti Muhammad Andre yang melawan putus sekolah dan berjuang mencari duit agar kelak bisa jadi pilot. Salsa rela berjualan cendol setiap hari untuk membiayai sekolahnya agar bisa mewujudkan impiannya.

Melalui buku ini, kita menjadi punya sudut pandang berbeda melihat Belawan. Berharap buku ini bisa jadi bahan diskusi bagi banyak pihak. Juga layak menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan di kota Medan dalam memahami persoalan di Belawan. Bahwa persoalam mutu sumber daya manusia di Belawan masih jauh dari ideal. Ini pekerjaan rumah kita. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun