Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belawan dan Putus Sekolah

22 Desember 2021   13:51 Diperbarui: 22 Desember 2021   13:54 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lurah Belawan 2 Yose Fery menyebut, dalam 5 tahun terakhir di wilayah kerjanya sedikitnya ada 200 korban perkawinan anak. "Setiap hari, banyak warga datang ke saya. Mereka minta dibuatkan surat agar bisa diuruskan identitasnya. Mereka masih belia tapi sudah pada kawin. Banyak sekali kami hadapi yang beginian," ungkapnya.

Kasus di Belawan ini semakin menguatkan data tentang tingginga angka perkawinan anak di Indonesia. Meminjam data penelitian UNICEF, BPS, Bappenas dan Pusat Kajian Advokasi dan Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia 2018, disebutkan bahwa 1dari 9 anak perempuan di Indonesia telah menikah.

Bahkan perempuan usia 20-24 tahun telah menikah, ternyata menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya lebih dari 1,2 juta jiwa. Data ini memposisikan Indonesia rangking 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. 

Kisah-kisah dramatis remaja Belawan yang jadi korban setelah putus sekolah ini harus menjadi perhatian semua pihak. Semua orang perlu terlibat, mulai dari orangtua, keluarga, masyarakat, sekolah, lembaga agama hingga pemerintah.

Kasus stunting, bayi prematur, kematian ibu dan anak sulit kita hindari jika persoalan putus sekolah yang melahirkan berbagai masalah sosial ini tidak dibereskan. Ahli kandungan, Dokter Binarwan Halim mengatakan, fenomena perkawinan anak sesungguhnya masalah serius di bangsa kita Indonesia. Jika tidak serius ditangani, kata dia, kita berpotensi mendapatkan generasi gagal. "Mendapatkan generasi emas itu akan mustahil kalau persoalan perkawinan anak masih terus terjadi," ungkapnya.

Fenomena perkawinan anak ini, bagi psikolog Irna Minauli, menandaskan robohnya fungsi keluarga. Anak kehilangan role model. Relasi orangtua dengan anak retak. Komunikasi semakin buruk. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya, akan berusaha mencari dan mendapatkan perhatian dari luar rumah. Dan itu berpotensi membuat mereka terjerat pada kejahatan di tengan lingkungan sosial yang buruk di Belawan.

"Anak ngeBLAST di rumah, akan mencari perhatian dari dunia luar rumah," jelasnya.

BLAST akronim dari Bored, Loniless, Anger, Stress and Tired. Mereka sudah merasa rumah selayaknya neraka. Mereka tidak betah di sana. Mereka kemudian "lari" kepada sesuatu yang bisa menerima mereka. Sayangnya, bila mereka bertemu dengan orang atau lingkungan yang buruk, kian suramlah masa depan mereka. Dan itulah yang terjadi di Belawan.

Sebagian remaja perempuan mengira, kawin sebagai solusk agar terbebas dari keluarga yang buruk. Dan bercerai juga dipandang pilihan terbaik mana kali rumah tangganya kerap cekcok. "Apa yang mereka lihat dari orangtua mereka, kemudian mereka duplikasi. Karena orangtuanya dulu cerai, mereka pun menganggap bercerai lalu kawin lagi itu sebagai solusi," jelas Irna.

Celakanya praktik perkawinan anak yang berujung cerai dan kawin lagi itu kemudian menciptakan kemiskinan baru. Keluarga-keluarga baru tercipta dari lingkaran praktik kawin-cerai akan menghasilkan generasi rentan gagal. Dan jika persoalan ini tidak diselesaikan, makin runyamlah persoalan di Belawan.

Pandangan unik muncul dari Rosmaradana, dosen Antropologi Unimed. Ia memandang, fenomena praktik perkawinan anak dan bajing loncat serta ngelem di Belawan bukanlah faktor kemiskinan semata. Tetapi ada faktor lain yang jauh lebih berpengaruh, yaitu budaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun