Pasaribu, teman baik saya mendadak off dari Facebook (FB). Tidak biasanya ia "sepi" dari beraktivitas di media sosial besutan Mark Zuckerberg itu.
Penasaran, akhirnya saya kontak dia via sambungan telpon. Rupa-rupanya, sudah dua hari ia berondok di rumah karena demam tinggi. Saya pun mengunjunginya ke kediamannya.
Dalam kunjungan itu, ia menuturkan kalau tenaganya mendadak anjlok sesaat setelah membaca postingan seseorang di lini masa FB, yang menyebutkan dirinya telah meninggal dunia. Celakanya, postingan itu bisa viral dalam hitungan jam. Tak hanya di FB, informasi bernada duka itu juga berantai di WhatsApp.Â
Dengan kondisi tubuh lemah, kepala agak pusing, Pasaribu berusaha mengontak orang yang pertama sekali memosting informasi tidak benar itu. Ia kirim pesan via inboks FB agar si pemosting menghapusnya. Teman saya itu juga menitipkan nomor ponsel dan WA jika si pemosting mau mengklarifikasi postingannya.
Tetapi hingga dua hari kemudian, bahkan sampai hari ini postingan itu tak jua dihapus oleh si pemosting. Teman saya pun makin drop kesehatannya. Ponselnya berdering setiap saat. Ratusan notifikasi tanda pesan masuk ke WhatsApp dan smsnya. Telepon juga bolak-balik berdering. Saudara, pihak keluarga, kolega dan teman-teman lainnya turut panik gara-gara postingan itu.
"Apa yang harus saya lakukan, lae?" tanya Pasaribu ketika saya menjenguknya.
Saya anjurkan dia membuat pernyataan resmi di akun FBnya. Sembari kami bergerilnya menjawab netizen yang terus bertanya di kolom komentar di postingan orang tidak bertanggung jawab itu. Di saat bersamaan, kami juga menyiapkan satu pesan yang kemudian kami broadcast ke seluruh jaringan kontak keluarga, kolega, sahabat dan teman demi meluruskan informasi bengkok yang kadung viral itu.
Syukur, satu persatu dan akhirnya orang percaya dengan apa yang kami sampaikan. Kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi kami.Â
Satu Benang Merah
Kejadian hampir serupa juga pernah menimpa saya. Ketika ayah saya sekarat di jalan, orang bukannya menolong tetapi memotret dan memostinganya di FB. Sialnya, foto-foto ayah saya yang sedang sekarat itu viral di FB dan saya harus berjuang menghubungi si pemosting agar foto "tragis" itu dihapus dari media sosial. Segala kanal saya gunakan untuk mengontak si pemosting, baik FB, IG, SMS dan telepon. Termasuk jaringan pertamanannya saya lacak.
Saya bahkan harus menempuh perjalanan enam jam naik kendaraan agar sampai ke rumah si pemosting itu. Saya temui dia langsung dan meminta foto2 ayah saya untuk dia hapus dari FB. Setelah bertemu muka, bicara dari hati ke hati, barulah si pemosting berkenan menghapusnya.
Kepadia saya samapaikan bahwa kami tidak ingin mengenang ayah kami dalam keadaan seperti itu. Kami ingin mengenang ayah kami saat ia hidup dan dalam keadaan baik. Kami juga sampaikan kami terus berjuang menolong ayah kami.
Ketika postingan "tidak layak" itu meluas, adik-adik saya di tempat lain (Jawa dan Kalimantan) pun ikut panik dan terkejut batin. Ibu kami yang sedang sakit parah harus kami tenangkan batinnya. Kami larikan ayah ke rumah sakit di Medan. Kami upayakan agar ayah mendapatkan pertolongan medis. Namun saat upaya itu kami lakukan, ada saja orang yang tidak bertanggung jawab menyebarkan kabar bohong.Â
Ketika ayah masih ditangano dokter di ruang IGD di sebuah rumah sakit di Medan, justru santer berita di kampung kami di Tobasa, ayah dikabarkan telah berpulang. Kepada ibu kami, orang-orang mengatakan, kami anak-anaknya telah membohongi ibu kami kalau ayah masih hidup, hanya untuk sekadar menenangkan. Gara-gara berita miring itu, orang-orang mulai berdatangan hendak melayat. Tiang-tiang tenda dipasang tanpa permisi. Situasi itu benar-benar menambah runyam dan memukul batin ibu kami.Â
Saya sendiri yang berjaga di IGD, belum berani mengabarkan apa-apa kepada ibu karena menantikan jawaban dokter syaraf. Setelah dokter memberi keterwngan resmi, sore harinya barulah saya telepon ibu kalau ayah masih hidup tapi kondisinya kritis.Â
Benar, umur di tangan Tuhan. Selusin hari kemudian ayah kami dipanggil Tuhan ke sisi-Nya. Tetapi berita hoaks di hari pertama kejadian itu, sungguh telah melukai hati kami.Â
Dua kejadian berbeda yang saya tuliskan di muka tentu masih satu benang merah. Bahwa sebuah informasi yang tidak akurat sangat berbahaya untuk diposting dan disebarkan. Melalui tulisan ini, izinkanlah saya meminta kepada siapapun kita, agar berhati-hati dalam menyebarkan informasi, termasuk di media sosial.Â
Benar ibu kami gaptek teknologi, tetapi setiap anak-anak di kampung kami menggandrungi media sosial. Informasi apapun yang berserak di media sosial mereka pasti tau. Dan informasi yang buruk bakal sampai ke telinga ibu kami. Begitulah informasi menjalar cepat dan berdampak bagi orang lain.
Kisah tentang teman saya Pasaribu dan kematian ayah saya, menjadi alarm peringatan bagi kita. Sebelum informasi itu akurat, tolonglah untuk tidak menuliskan dan memostingnya di media sosial. Tanyakan pada diri kita selalu dua pertanyaan ini:
1. Apakah informasi yang saya tulis telah benar dan akurat?
2. Apakah informasi yang saya tulis ini baik untuk saya sebarkan?
Jika ya, silakan lanjutkan. Tetapi jika tidak, hentikan untuk menulis. Jangan lanjutkan. Mari kita ciptakan lini masa media sosial sebagai ruang publik yang nyaman  bagi siapa saja. Sadari, setiap postingan kita, sekecil apapun itu, pasti membawa dampak bagi orang lain. Pastikan postingan kita selalu membawa kebaikan bagi semesta.
Salam hormat saya.
(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H