Bencana merenggut ratusan nyawa setiap tahun. Ribuan orang terpaksa mengungsi, tidak sedikit pula yang kehilangan tempat tinggal dan penghidupannya. Mereka terpaksa berakhir di posko pengungsian. Jika saja kita mau belajar menjaga alam, semua kerugian ini sesungguhnya bisa kita cegah atau perkecil.
BUKAN karena kekurangan data informasi, tetapi kita secara kolektif masih kurang kesadaran untuk membangun budaya mitigasi kebencanaan. Sehingga, setiap kali bencana datang, kita gelagapan, panik dan memperparah keadaan yang justru menambah banyak angka korban, baik materi maupun jiwa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2019 merilis, selama satu dekade (2009-2019)terakhir, tercatat 1.226 peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Karhutla periode itu menyiksa paru-paru 443.278 orang. Termasuk merenggut 32 nyawa, melukai 373 orang, dan memaksa 442.873 orang mengungsi dari rumah mereka.
Teranyar, BNPB juga melaporkan sepanjang 2019 saja terjadi 141 karhutla. Karhutla tertinggi terjadi di Kalimantan Tengah (47 peristiwa) disusul Riau (26 peristiwa) dan Aceh serta Kalimantan Selatan (masing-masing 17 kejadian). Sedangkan, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan masing-masing sembilan dan delapan kejadian.Â
Meski Karhutla terus disorot media serta digaungkan warganet melalui media jejaring sosial, namun rasa gentar tampaknya belum tumbuh. Nyatanya, hingga saat kejadian karhutla masih terus melanda di sejumlah wilayah di tanah air. Meminjam data BNPB, luas karhutla di Indonesia dalam kurun Januari hingga Agustus 2019 telah mencapai 328.724 hektare. Ini bukanlah angka main-main. Dan asapnya telah mengotori udara.Â
Akibat karhuta, kualitas udara di Riau telah mencapai level berbahaya (mencapai angka 444 pada 13 September 2019, berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara atau ISPU). Begitupun wilayah lain yang terdampak karhutla seperti Jambi berada di level ISPU mencapai 239 (tidak sehat), Sumatera Selatan di level ISPU 287 (sangat tidak sehat). Sementara Kalimantan Barat di level ISPU 129 (tidak sehat). Kondisi ini mengakibatkan banyak warga Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Seorang teman saya, Eva Silaban yang bekerja di Pekanbaru begitu gigih bersuara di media sosial mengampanyekan gerakan memggantang asap. Dalam beberapa videonya di media sosial, ia menceritakan, level udara yang kotor sekali akibat asap karhutla. Ia mengaku, sejak kejadian kebakaran yang berulang di Riau, ia harus menyediakan stock oksigen tabung di rumahnya. Setidaknya untuk menyelamatkan anaknya yang masih bocah dari kepungan asap.Â
Apa yang dialami Eva, juga dialami jutaan orang di daerah-daerah lain yang kerap terjadi karhutla. Orang-orang sipil seperti Eva telah menjadi korban dari keberingasan segelintir orang yang tega membakar lahan dan hutan. Demi keuntungan diri atau kelompoknya, mereka melantakkan hutan dengan api.Â
Kita juga menyaksikan bagaimana Presiden Jokowi harus turun tangan memadamkan karhutla di Riau di tengah segudang problema bangsa yang juga butuh perhatian besar dan penanganan intensif. Semua ini semestinya tidak perlu terjadi jika kita jaga alam. Partisipasi semua orang, sesuai kemampuan dan kapasitasnya, perlu ikut berkontribusi menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.Â
Benar apa yang dikatakan Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, upaya-upaya mitigasi bencana perlu penguatan berbagai pihak. Peran serta semua orang amat diperlukan.Kontribusi sekecil apapun dalam upaya menjaga alam akan sangat berfaedah. Prinsipnya, semakin banyak orang terlibat bahu-membahu, kian besar dampak baik yang bisa dihadirkan.Â