PEMILU serentak 2019 merenggut nyawa 225 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu 1.470 anggota KPPS lainnya dilaporkan sakit. [1]
Banyaknya korban jatuh pascapemilu memicu perdebatan publik. Wacana pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pun mengemuka. Banyak orang menilai, e-voting jauh lebih efektif dan hemat. Benarkah demikian?
Negara maju sepasti Australia saja memilih untuk tidak menggunakan e-voting. Alasannya, sistem itu dinilai sangat tidak aman, rawan kecurangan dan potensi terjadi kejahatan amat tinggi.Â
Meski tingkat partisipasi politik warga Australia untuk menggunakan hak suaranya telah mencapai 95 persen dan trust publik terhadap Australian Electoral Commission, (sejenis KPU mereka) juga begitu besar. Sehingga legitimasi AEC memang luar biasa!
Mereka juga tidak memakai sistem coblos maupun contreng, melainkan memakai pencil. "Ya, jauh lebih hemat," ujar Phil Diak, Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC, saat ditemui di kantornya pada 2015 lalu.
Selain alasan berhemat, menurut Phil, mekanisme pemungutan suara secara elektronik belum dianulir oleh undang-undang kepemiluan mereka. Butuh perubahan besar dalam undang-undang untuk memberlakukan sistem baru tersebut. Meski Joint Standard Comittee and Electroral (JSCE) tengah meneliti model e-voting
Hanya JSCE yang berwenang memutuskan apakah memakai e-voting atau model lama. Belum lagi, laporan hasil riset sebelumnya menunjukkan bahwa e-voting sama sekali tidak aman untuk diaplikasikan karena rentan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan.
"Data-data penduduk akan potensial dimanfaatkan para penjahat. Jadi mempertimbangkan juga tingkat keamanan," imbuhnya.
Jika sistem e-voting hari ini diterapkan di tanah air, saya yakin bakal banyak kerugian. Mengingat tingkat literasi politik masyarakat kita juga belum begitu baik. Apalagi, sebagian elit politik kita saat ini menunjukkan gelagat jahat. Seperti kita saksikan di media, kecurangan masih saja terjadi selama pemilu serentak kemarin.
Meski begitu, usulan e-voting memang patut dipertimbangkan. Karena kajian akan hal itu masih dikerjakan oleh LIPI. Dan kajian itu belum dibahas secara bersama dengan wakil rakyat di senayan. Profesor riset LIPI Firman Noor mengakui, e-voting paling efektif ketimbang manual. [2].Â
Tetapi biar bagaimanapun, harus kita akui, selama sistem database kependudukan kita masih kacau-balau, Daftar Pemilih Tetap (DPT) selalu bermasalah, warga tidak proaktif mencatatkan dirinya ke disdukcapil, maka potensi kejahatan dan kecurangan terjadi akan sangat besar.