Seorang ayah tak boleh menyerah menghadapi kasus yang menyangkut nyawa anaknya. David Kim, dalam filem SEARCHING membuktikan kegigihan seorang ayah dalam menginvestigasi misteri raibnya Margot Kim, anak semata wayangnya.
***
David Kim tak percaya atas hasil penyelidikan yang dilakukan detektif. Ia menyakini ada yang tak beres dengan hasil investigasi polisi itu. Sebagai ayah, nalurinya untuk melacak jejak Margot, tertantang.Â
David memulai investigasinya dengan meretas password sosial media Margot, menelusuri satu persatu jejak seluncur putrinya di internet, pesan singkat dan memeriksa semua isi folder yang ada di laptop putrinya itu.
Tak dinyana, semakin David mengkepoi medsos Margot, semakin ia menyadari kalau ia tidak mengenal baik putrinya itu. Selama ini ia mengira mengenal betul putrinya, lewat skype dan video call. Nyatanya, Margot punya kehidupannya sendiri di dunia maya yang sungguh berbeda dengan realita kesehariannya di depan ayahnya. David baru menyadari bahwa aktivitas Margot di dunia maya selama ini luput dari perhatiannya.
Tak rela kehilangan anak satu-satunya itu, David bertekad mencarinya dengan segala daya upaya. Apalagi hanya Margot satu-satunya orang yang dimilikinya sepeninggal istrinya yang didera sakit penyakit. Maka tanggung jawab untuk menjaga Margot sepenuhnya adalah tugas dia.
Meski detektif sudah menginvestigasi kasus anaknya, David tidak berdiam diri. Ia berusaha menelusuri jejak digital anaknya dengan mengontak satu persatu akun-akun yang terhubung dengan akun Margot. Ia juga memeriksa setiap foto dan video yang diunggah putrinya di internet.
Lewat stalking di tumblr dan Googlemaps, David berhasil melacak tempat yang kerap dikunjungi Margot. Melalui serangkaian pelacakan jejak digital di internet itu pula, David menemukan keganjilan dalam laporan penyelidikan detektif yang menangani kasus putrinya itu. Dan berkat usaha penelusurannya itulah David berhasil menguak otak di balik misteri hilangnya putrinya.
Filem ini sangat memukau, karena berhasil menyampaikan pesan ceritanya secara kuat kepada penonton, bagaimana teknologi digital dan media sosial bisa membawa pengaruh baik dan buruk sekaligus. Teknologi dan media sosial yang konon mampu membangun jejaring pertemanan secara luas, di lain sisi juga menjadi perangkap yang berbahaya bagi anak-anak yang kurang percaya diri tampil di depan publik. Beberapa remaja menjadikan media sosial dan internet sebagai tempat pelarian untuk curah isi hati (curhat)--ketimbang kepada orangtuanya--meski mereka tak mengenal muka satu sama lain.
Pertemanan yang serba absurd ini justru digemari anak-anak muda dan remaja saat ini, bersebab didukung oleh situasi keluarga mereka yang lebih mendahulukan pekerjaan atau dalih lain dibandingkan anak. Komunikasi yang baik sebagai kunci dalam keutuhan keluarga telah hilang digantikan oleh aktivitas sendiri-sendiri. Orangtua dengan pekerjaannya, anak dengan media sosialnya.
Memang adegan pembuka di filem asuhan Aneesh Chaganty ini seperti membosankan karena mengisahkan aktivitas yang sudah biasa dilakoni anak milleniel di media sosial. Namun jika tidak mengikuti jalannya cerita secara runut, penonton pasti kewalahan menangkap pesan ceritanya, karena setiap adegan, alur dan plotnya tertata sangat apik dan kait-mengait.Â
Filem ini memberi banyak sekali gambaran kehidupan yang kita jalani hari-hari ini. Bagaimana orang bertetangga tidak saling kenal, teman sekelas dalam satu tugas kelompok juga tidak saling mengenal, dan paling anehnya, bagaimana orang tega memanfaatkan duka yang menimpa orang lain untuk mendulang popularitas, munculnya para pengamat dadakan, tumbuh suburnya kebiasaan viral-memviralkan dan rundung-merundung orang telah menjangkiti masyarakat kebanyakan.
Saya beruntung bisa menonton filem ini di awal tahun 2019. Bersama rekan-rekan dan tetangga, sesama orangtua, kami menonton filem ini di layar lebar, dengan sentuhan sound sistem yang luar biasa, Filem ini menjadi bahan diskusi #sayitwithfilm yang menarik bagi kami para ayah muda. Bagaimana kami dicelikkan soal memahami anak dan dunia digitalnya, soal perhatian, soal komunikasi, bagaimana memprioritaskan keluarga di atas pekerjaan.Â
Tentu secara umur, kita generasi berbeda dengan anak kita hari ini. Namun perbedaan usia tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerti dan memahami dunia anak kita. Kita tidak boleh mengabaikan perkembangan teknologi. Kita, orangtua harus bisa membaca langgam zaman. Dan menguasai beberapa teknologi yang memungkinkan kita bisa dekat dan mengenal betul anak kita sehari-hari.Â
Di atas semua itu, tentu saja pentingnya merawat komunikasi. Komunikasi antara anak dengan orangtua tidak boleh terputus, hubungan antara anak dengan ayah-ibunya jangan sampai hambar dan tergantikan oleh pesona media sosial. Menjaga hubungan yang karib menjadi kunci menyelamatkan keluarga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H