Pengalaman mendampingi Nenek Christina meyakinkan saya untuk semakin gigih menulis demi membantu orang lain. Saya masih ingat kejadian ketika Sudarno Simanjuntak, seorang jaringan di Lembaga Perlindungan Anak memosting foto Kassia, bayi umur dua bulan yang matanya bengkak sebesar bakso raksasa. Bayi tersebut menderita kanker di bagian mata.
Tulisan itu kemudian diviralkan oleh kawan-kawan. Di luar dugaan saya, dan oleh restu Ilahi, mengalir banyak bantuan. Seorang sahabat dari Pekanbaru menggalang dana hingga Rp 20 juta dalam seminggu. Donasi yang masuk ke rekening orangtua korban juga puluhan juta.
Ditambah lagi, Rumah Sakit Lubuk Pakam dan Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik bersedia merawat dan menangani penyakit bayi Kassia. Empati publik luar biasa dahsyat. Sayang Tuhan lebih memilih Kassia di pangkuannya. Meski hati saya sedih, namun saya tidak kecewa, karena saya dan banyak orang sudah berusaha berbuat sesuatu. Bagi saya, menulis juga sebuah aksi nyata yang dapat memenangkan banyak orang.
Kejadian tak kalah mengesankan, ketika Lasma Naftali nyaris meregang nyawa saat partus. Air ketubannya sudah pecah. Namun pihak rumah sakit X (kita rahasiakan demi menjaga nama baik), menolak membantunya bersalin lantaran keluarga ini belum membayar uang pangkal sebesar 500 ribu.Â
Ibu Naftali yang sudah tua pontang-panting mencari pinjaman. Kami mendesak pihak rumah sakit agar mengutamakan menyelamatkan Naftali dan bayinya. Akhirnya pinjaman ada, kami lekas daftar, barulah Naftali ditangani. Syukur, ibu dan bayi itu selamat.
Sebagai pemulung, Naftali kewalahan membesarkan anaknya. Lantaran ia baru melahirkan dan butuh istirahat. Sedangkan suaminya juga sudah lama sakit-sakitan, sehingga benar-benar tak bisa diandalkan.
Rekan saya Uba sigap membantu Naftali. Beberapa kali kami berkunjung ke rumah Naftali membawa sembako, susu formula, dan pampers. Kami upayakan agar bayi tersebut bisa tumbuh kembang. Proses kunjungan masih terus kami lakukan hingga hari ini.Â
Banyak orang secara ikhlas membantu Naftali, setelah kisah dramatisnya bersalin saya tulis di media online. Bantuan-bantuan yang mengalir itu kami sampaikan langsung kepadanya.Â
Saya turut bangga ketika menggendong bayi yang dilahirkan Naftali. Saya merasakan betul, bahwa tulisan yang berdaya gugah bisa memberi secuil harapan bagi orang yang membutuhkan.
Dari gudang botot di Sunggal, sekali lagi saya mengguratkan sebuah kisah naratif tentang Namboru Nursaidah Siahaan, seorang ibu beranak delapan. Nursaidah lumpuh dua tahun, diduga karena pernah terjatuh dan efek sering mengangkat beban berat. Pasca lumpuh ia hanya terbaring di ranjangnya, di sebuah gubuk di lokasi gudang botot. Tak ada orang yang mengunjunginya.