Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sipahalima: Cara Parmalim Syukuri Nikmat Ilahi

20 Juli 2016   17:09 Diperbarui: 20 Juli 2016   17:21 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parmalim sangat konservatif menjaga adat istiadatnya. Alasannya, kebudayaan Batak sudah menjadi patron di dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus panduan spiritual. Kesungguhan menjaga budaya dan tradisi ini ditujukan untuk merawat keluhuran budaya yang diwariskan para nenek-moyang. Juga sebagai benteng atas gempuran budaya asing yang berseberangan dengan nilai-nilai agama dan tradisi itu.

***

PARMALIM (penganut agama Batak) menggelar ritual Sipahalima. Ini salah satu bentuk sujud syukur mereka kepada Debata Mula Jadi Nabolon (sang Khalik) atas anugerah sepanjang tahun. Sipaha Lima dilangsungkan di pemukiman Parmalim di Desa Hutatinggi Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.

Populasi Parmalim diperkirakan mencapai 6000 orang. Mereka tersebar di seluruh tanah air. Dalam ritual ini, umat Parmalim menaruh pelean (persembahan) berupa seekor kerbau di atas altar. Kerbau itu dinamai Horbositikko tanduk siopat pisoran. Saat ritual itu berlangsung, musik gondang sabangunan bertalu-talu, bersama para umat yang sedang manortor. Tarian dan musik itulah yang mengiringi persembahan dan doa umat kepada sang Pemberi Berkat. 

"Ritual Sipaha Lima adalah puncak dari matumona yakni persembahan atas hasil usaha yang diberkati Mulajadi Nabolon selama setahun ini," ujar Ketua Punguan Parmalim Monang Naipospos usai prosesi Ritual Sipaha Lima di Desa Huta Tinggi, Laguboti,Tobasa, Rabu (20/7). 

Ritual ini berlangsung tiga hari penuh mulai Minggu (17/) sampai Selasa (19/7). Monang menerangkan, sebelumnya warga Parmalim telah melakukan acara matumona di rumah masing-masing. Matumona sendiri adalah persembahan hasil panen pertama untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Sebagaimana dulu masyarakat Batak hidup di sektor agraris. Bentuknya, panen perdana itu terlebih dahulu disimpan di lumbung untuk dipersembahkan kepada Pencipta.

Hasil ladang/tani pertama ini dipersiapkan untuk ritual pameleon bolon Sipaha Lima, sebuah persembahan akbar yang biasanya diselenggarakan pada bulan kelima, sesuai penanggalan kalender Batak. Sebulan sebelum Sipaha Lima sesuai aturan Parmalim, suatu kewajiban bagi Parmalim memberikan ugasan torop (sokong tiga pikul hasil panen) perkepala keluarga atau lebih kepada masing-masing cabang punguan.

Ugasan torop itu merupakan wadah untuk mewujudkan kasih sayang dan tolong-menolong bagi warga Parmalim. Namun bagi mereka yang tidak mampu, otomatis dibebaskan dari kewajiban tersebut. Sekarang, Parmalim tidak lagi hanya sebagai petani. Sudah ada berbagai macam profesi. "Kalau ada yang mendapatkan gaji bulanan, maka gajinya itulah yang dipersembahkan. Besarannya disesuaikan dengan nilai hasil ladang di masa-masa agraris dulu", tambah Monang.

Monang juga menambahkan bagaimana konservatifnya Parmalim menjaga adat istiadatnya. Alasannya, kebudayaan Batak sudah menjadi patron di dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhan menjaga budaya dan tradisi ini, kata dia, demi merawat keluhuran budaya yang diwariskan para nenek-moyang sekaligus sebagai benteng atas gempuran budaya asing yang berseberangan dengan nilai-nilai agama dan tradisi.

Namun Monang juga mengaku, pihaknya tidak menutup mata terkait masalah administrasi kependudukan, sepasti kolom agama di kartu penduduk. "Cocoknya kan dikosongkan saja. Kalau kami, Parmalim enggak mempersoalkan. Yang penting KTP diterbitkan dan jelas ada NIK-nya. Sekarang yang kami perjuangkan, bagaimana agar anak kami tidak diajarkan agama lain di sekolah," pungkasnya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun