Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Koran Pertama yang Memperjuangkan Kemerdekaan Lahir di Medan, Bukan di Jawa

9 Februari 2016   15:18 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:32 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ORANG mengira, gagasan kemerdekaan muncul di Pulau Jawa atau saripati kongres pemuda 1928. Tak banyak yang tau, kalau "Benih Merdeka," sebuah koran terbitan Medan, 1916-lah yang pertama sekali yang melahirkan dan meniupkan gagasan kemerdekaan. Sayang sejarah tak pernah mencatatnya dengan baik.

***

SELEMBAR koran jadul, terbitan 1916 terpampang di dinding digital library Unimed, Selasa (9/2). Koran itu dilaminating, dengan harapan agar awet. Di atas koran itu, tertempel pula satu bingkai photo Mohamad Samin, sang pemimpin redaksi. Itulah koran "Benih Merdeka" menjadi saksi sebuah gagasan yang pernah lahir di kota Medan namun visinya melampaui zamannya: sebuah kemerdekaan bangsa.

Barangkali, kata Dr Ichwan Azhari, Sejarawan Unimed, mereka belum tahu kemerdekaan seperti apa yang mereka dambakan. Semua serba abstrak. Tidak ada gambaran yang jelas. Namun mereka sangat berani. Bayangkan, satu-satunya pemimpin redaksi yang perdana memakai kata "Merdeka" di korannya. Kata "Merdeka" itu dijadikan nama koran semata-mata untuk menumbuhkan benih-benih kemerdekaan. Karena kala itu, Belanda berkuasa.

Tak cuma memakai nama "Merdeka", bahkan taglinenya terang-terangan dibubuh: "Organ Untuk Mencapai Kemerdekaan." Tagline ini sungguh supersif. Kesan propagandanya kuat sekali. Tentu butuh keberanian besar untuk melakukan hal seperti ini. "Mungkin karena jauh dari pusat kekuasaan, dari Batavia, tetapi juga karena keberanian lebih kuat, memang ada di Medan ketimbang Jakarta," beber Ichwan.

Berani

Kenapa surat kabar Medan tergolong berani? Ichwan memberi penjelasan sesuai catatan sejarah. Kala itu, katanya, dua surat kabar kenamaan yakni Deli Courant dan De Sumatera Post menjadi sarapan kaum intelektual dan elit Eropa. Mereka memang punya hasrat dan kebiasaan baca koran tiap pagi. Nah, koran Benih Merdeka telah menginspirasi generasi muda di Medan untuk mendirikan koran-koran. Mereka mengetahui kebebasan berpendapat itu dihargai. Itu sebabnya mereka berani bersuara lewat tulisan. Dan ketika itu, lumrah jika ada orang melarang atau membredel koran, pihak pembredel bisa dituntut.

Nah, pada waktu itu, terang Ichwan, bukan koran yang dibredel, melainkan pemimpin redaksinya (pemred) yang ditangkap. Di sinilah uniknya perjuangan pers, walau pemrednya ditangkap, koran tetap beroperasi. Suara-suara kenabian, semangat menabur benih kemerdekaan tetap jalan. Harapan untuk bebas dari penjajahan tetap hidup dan dipelihara.

Apa yang disaksikan oleh "Benih Merdeka" adalah bukti kuat bahwa kemerdekaan itu bukan pada organisasi, seperti Budi Utomo. Bukan pula ada pada kongres-kongres pemuda 1928, yang tidak menuntut kemerdekaan. Tetapi, pada pers di Medan. Bayangkan, selusin tahun sebelum kongres pemuda yang sayup-sayup itu, di Medan, orang sudah menantang penjajah. Mereka lantang melawan. Gerakannya sangat radikal dan frontal. Oleh karena itu, sejarah Indonesia harus ditulis ulang.

Relevansi
Gerakan menulis dan mendirikan koran di zaman sebelum kemerdekaan juga menarik untuk dicermati. Di masa yang belum melek internet itu, para jurnalis gigih melaporkan perkembangan kondisi sosial, ekonomi, politi dan budaya masyarakatnya. Dan geliat persuratkabaran begitu luar biasa.

Tak heran jika pers di Medan dan Sumut punya sejarah yang panjang dan kaya. Bayangkan sampai datangnya Belanda ke Sumatera Utara, pada 1942, tercatat 133 penerbitan pers di Medan dan itu tidak bisa diimbangi kota manapun di Indonesia. Banyaknya varian surat kabar itu menunjukkan dinamika masyarakat Medan dan Sumatera utara yang luar biasa.

Kencangnya pertumbuhan pers di Medan dan Sumut kala itu, tentu tak lepas dari semnagat dan kegigihan wartawannya dalam meliput dan menulis. Ichwan menyebut, pesatnya perkembangan surat kabar kala itu, diakibatkan, pers zaman dulu kebanyakan diisi kaum intelektual, aktivis dan penulis, sekaligus pembaca. Tingkat literasinya tinggi.

"Saya meragukan wartawan-wartawan sekarang ini rajin membaca, khususnya baca buku-buku yang berat. Susah sekali mencari wartawan yang jadi pembaca yang baik, sekarang ini," katanya menduga.

Alasan Kepala Pussis tersebut mengatakan demikian adalah, karena zaman sekarang kehidupan jurnalis begitu sibuk, mulai dari cari berita hingga menuliskan serta melaporkannya. Ada tuntutan perusahaan media yang begitu berat sehingga mengecilkan kesempatan wartawan untuk merenung. Pada waktu itu koran juga tidak tiap hari terbit, hanya tiga kali seminggu. Kemudian jumlah halaman korannya juga tidak banyak, hanya empat halaman.

"Jadi kegiatannya melaporkan berita tapi tetap melakukan analisis yang begitu dalam. Mereka penulis-penulis artikel yang mumpuni, sepasti dimuat surat kabar Tapanuli," beber Ichwan.

Dan ini menjadi kritik pedas yang dilontarkan Ichwan kepada para jurnalis, khususnya di Medan. "Wartawan tidak lagi punya waktu untuk membaca dan merenung. Wartawan juga malas membaca. Tapi, mbak jangan marah ya." katanya kepada Nina, wartawan Daai TV yang sedang menyorotnya.

Gerakan Perempuan

Gerakan perjuangan lewat tulisan tidak semata-mata dimonopoli oleh kaum adam. Para wanita di Sumatera Utara malah tercatat lebih gigih. Ada lima koran yang berani angkat pena untuk menyuarakan aspirasi masyarakat daerah lewat surat kabar. Tak hanya jadi jurnalis perempuan, mereka juga malah menjadi pendiri-pendiri surat kabar. Mereka menjadikan koran sebagai alat perjuangan. 

Kelima koran yang didirikan dan dikelola sendiri oleh kaum hawa itu antara lain Perempuan Bergerak (1919), Soeara Iboe (1932), Boroe Tapanoeli (1940), Dunia Wanita (1949) dan Gema Riau (1979).

Tak cuma meliput dan menulis berita, kaum jurnalis perempuan ini juga bekerja keras mencari dana untuk penerbitan korannya. Ini jadi tamparan juga bagi jurnalis perempuan sekarang.

Relevansinya:

Kisah tentang keberanian Mohammad Samin mendirikan koran "Benih Merdeka" atau perjuangan kaum jurnalis perempuan di Sumut bukanlah dongeng pengantar tidur. Bukan pula kita jadikan hanya sebuah kenangan atau menganggapnya romantisme sejarah. Tetapi ini menjadi momen yang tepat, apalagi di hari Pers Nasional ini, kita bisa bercermin di kaca bening. Kita bisa menelisik kembali masa lalu, spirit zaman kala itu dan relevansinya hari ini.

Kita tau, banyak sejarah terungkap apik karena ditulis dalam koran. Dari surat kabar pula kita bisa mengingat ide-ide besar para pendahulu kita. Di dalam koran kita menemukan memori bangsa ini terekam dengan baik, walau tidak lengkap-utuh. Sepasti dikatakan Prof. Dr. Syawal Gultom, Rektor Unimed, lewat koran, kita bisa melihat semangat dan ide-ide atau gagasan-gagasan besar zaman dulu dan memaknainya secara benar.  Kemudian kita harus melahirkan ide/gagasan besar serta semangat perubahan.

Sebagaimana "Benih Merdeka" menyemai pikiran bebas dan menjadikannya alat perjuangan pembebasan, maka hari ini, mari kita jadikan koran sebagai media atau alat untuk menyemai gagasan besar. Eksplorasi pemikiran perlu dibangkitkan di bangsa ini. Kritik Ichwan terhadap, jurnalis hari ini yang melempem dalam hal kemampuan literasi perlu ditepis dengan membangun kebiasaan membaca, merenung dan menganalisis serta menjadikan menulis sebagai kebiasaan.

Pun tamparan terhadap jurnalis perempuan masa kini yang disebut-sebut quo vadis, harus dihela dengan semangat berkarya. Dengan cara begitu, pers masa kini tetap jadi pandu bagi bangsa. Semangat pembaruan musti lahir dari jurnalis-jurnalis cerdas nan gigih.

 

Dirgahayu Pers Indonesia!

 

 

 *Gambar Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun