Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Koran Pertama yang Memperjuangkan Kemerdekaan Lahir di Medan, Bukan di Jawa

9 Februari 2016   15:18 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:32 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kencangnya pertumbuhan pers di Medan dan Sumut kala itu, tentu tak lepas dari semnagat dan kegigihan wartawannya dalam meliput dan menulis. Ichwan menyebut, pesatnya perkembangan surat kabar kala itu, diakibatkan, pers zaman dulu kebanyakan diisi kaum intelektual, aktivis dan penulis, sekaligus pembaca. Tingkat literasinya tinggi.

"Saya meragukan wartawan-wartawan sekarang ini rajin membaca, khususnya baca buku-buku yang berat. Susah sekali mencari wartawan yang jadi pembaca yang baik, sekarang ini," katanya menduga.

Alasan Kepala Pussis tersebut mengatakan demikian adalah, karena zaman sekarang kehidupan jurnalis begitu sibuk, mulai dari cari berita hingga menuliskan serta melaporkannya. Ada tuntutan perusahaan media yang begitu berat sehingga mengecilkan kesempatan wartawan untuk merenung. Pada waktu itu koran juga tidak tiap hari terbit, hanya tiga kali seminggu. Kemudian jumlah halaman korannya juga tidak banyak, hanya empat halaman.

"Jadi kegiatannya melaporkan berita tapi tetap melakukan analisis yang begitu dalam. Mereka penulis-penulis artikel yang mumpuni, sepasti dimuat surat kabar Tapanuli," beber Ichwan.

Dan ini menjadi kritik pedas yang dilontarkan Ichwan kepada para jurnalis, khususnya di Medan. "Wartawan tidak lagi punya waktu untuk membaca dan merenung. Wartawan juga malas membaca. Tapi, mbak jangan marah ya." katanya kepada Nina, wartawan Daai TV yang sedang menyorotnya.

Gerakan Perempuan

Gerakan perjuangan lewat tulisan tidak semata-mata dimonopoli oleh kaum adam. Para wanita di Sumatera Utara malah tercatat lebih gigih. Ada lima koran yang berani angkat pena untuk menyuarakan aspirasi masyarakat daerah lewat surat kabar. Tak hanya jadi jurnalis perempuan, mereka juga malah menjadi pendiri-pendiri surat kabar. Mereka menjadikan koran sebagai alat perjuangan. 

Kelima koran yang didirikan dan dikelola sendiri oleh kaum hawa itu antara lain Perempuan Bergerak (1919), Soeara Iboe (1932), Boroe Tapanoeli (1940), Dunia Wanita (1949) dan Gema Riau (1979).

Tak cuma meliput dan menulis berita, kaum jurnalis perempuan ini juga bekerja keras mencari dana untuk penerbitan korannya. Ini jadi tamparan juga bagi jurnalis perempuan sekarang.

Relevansinya:

Kisah tentang keberanian Mohammad Samin mendirikan koran "Benih Merdeka" atau perjuangan kaum jurnalis perempuan di Sumut bukanlah dongeng pengantar tidur. Bukan pula kita jadikan hanya sebuah kenangan atau menganggapnya romantisme sejarah. Tetapi ini menjadi momen yang tepat, apalagi di hari Pers Nasional ini, kita bisa bercermin di kaca bening. Kita bisa menelisik kembali masa lalu, spirit zaman kala itu dan relevansinya hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun