Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Megalitikum, Zaman Sejarah

24 April 2015   21:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:42 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14298856181965097785

Selain ceramah, acara dirangkai dengan peluncuran buku: “4000 Tahun Jejak Permukiman Manusia Sumatera” yang ditulis dalam perspektif Arkeolog di dataran tinggi Pulau Sumatera. Buku tersebut karya Dominik Bonatz. Buku ini, kata Dr. phil Ichwan Azhari, Sejarawan Unimed, sebuah mahakarya arkeolog. Karya-karya semacam ini raya di luar negeri, tapi sulit diakses dan dipahami pembaca sejarah, mahasiswa dan guru sejarah Indonesia. "Karya-karya beginian terasing dari masyarakat terdidik di Indonesia yang jadi objek kajiannya,” katanya.

Padahal melalui buku begini, menurut Ichwan, sejarah yang keruh bisa dijernihkan. Penjernihan itu bisa dilakukan jika memapar hasil-hasil penelitian/riset mendalam dan serius. Keruhnya sejarah kita, terangnya, karena masyarakat Indonesia hanya mengetahui fakta yang keliru tentang masa lalu mereka, sementara Pemerintah Indonesia cenderung abai terhadap dekontruksi masa silam yang keliru. "Karena itu, saya memprovokasi Profesor Bonatz untuk menerbitkan karya-karya penelitiannya dalam bahasa Indonesia tanpa menunggu instansi pemerintah atau sponsor resmi,” ujarnya.

Relevansi

Setelah paparan di muka, lantas apa relevansi belajar megalitikum di zaman kini? Bonatz mencatat: telah muncul sejumlah kekuatiran bahwa warga yang pengetahuannya terbatas tentang megalitikum rentan memunahkan batu-batu besar (megalit). Mereka hanya memandang batu besar semata bahan-bahan bangunan. Lebih ngerinya, sambung dia, timbul pula ide untuk menghancurkan megalit karena mempercayai mitos tentang kandungan emas di dalam batu-batu tersebut. “Padahal itu tidak benar,” tegasnya.

Melalui megalit ini, seharusnya, kata Bonatz, orang Indonesia bisa belajar bagaimana nenek moyangnya, orang-orang Sumatera di zaman megalitikum, ternyata sudah menguasai sistem perekonomian, menjalankan sistem pemerintahan, menentukan batas-batas wilayah, membangun hubungan dengan wilayah luar melalui hubungan dagang dengan Dinasi Ming, dinasti Song dari China dan barter barang-barang keramik dari India. Peradaban manusia megalitikum, bahkan, katanya, menunjukkan hidup selaras dengan alam. Tak lupa, megalitikum mengajarkan peradaban manusia tentang prestise, mental masyarakat masa itu yang sudah menghormati leluhurnya.

Sempat mengikuti sesinya Bonatz, Wakil Rektor IV Unimed Prof. Dr. Berlin berkomentar halus. Buku hasil penelitian Bonatz ini, menurut Berlin, adalah sumbangsih besar terhadap sejarah dan budaya Indonesia. Ini semacam oase di tengah kemarau penelitian sejarah tanah air. Apalagi karena penelitiannya di Sumatera, maka peradaban manusia Sumatera yang diulas di buku ini dalam perspektif arkeologi. “Ini sangat membantu bagi Unimed. Apalagi Bonatz menerbitkan buku tersebut dengan dananya sendiri. Dibutuhkan banyak hasil karya penelitian sepasti dilakukan Bonatz,” pungkasnya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun