Kondisi yang sulit kala itu dengan banyaknya pengungsi yang tinggal di kamp, membuat ia dan keluarga akhirnya memilih untuk pindah ke kamp pengungsian yang ada di Boneana. Hal ini dipilih keluarga dikarenakan telah ada sanak saudara yang telah terlebih dahulu pindah ke sana dengan kondisi kamp yang bisa dikatakan lebih baik dengan yang ada di Noelbaki.
“Kalau saya dan keluarga terus menetap di sana, dengan kondisi kamp yang penuh dengan pengungsi, apalagi dengan bangunan yang sebenarnya tidak layak huni itu, akhirnya saya beserta keluarga sepakat bahwa kami harus pindah,” tuturnya.
Namun ternyata apa yang diharapkan oleh Arafiq beserta keluarga jauh dari kenyataan, perubahan yang mereka inginkan tidak ditemukan di Boneana. Kamp pengunsian yang ada di Boneana berupa rumah yang dibangun menggunakan bebak beratapkan jerami dan ada beberapa yang telah menggunakan seng. Di dalam rumah tersebut terdapat dua atau tiga kepala keluarga yang harus menetap bersama.
Meskipun demikian ada sedikit harapan, sebab di kamp tersebut ada sedikit lahan yang bisa mereka garap, beberapa juga telah berupaya mencari pekerjaan meskipun hanya sebagai buruh bangunan atau menjaga ternak milik beberapa warga. Walaupun dengan kondisi seperti itu, telah ada sedikit perubahan yang dapat mengubah kehidupan mereka sebagai pengungsi. Namun demikian tetap tidak ada kejelasan bagi kehidupan mereka sebagai warga eksodus dari Timor Timur.
Selain Arafiq ada Alawiyah Duru, warga eks Timtim yang juga tinggal dan menetap di Boneana. Sudah dua puluh tahun lamanya perempuan berusia 31 tahun ini tinggal di kamp pengungsian bersama kurang lebih 115 kepala keluara. Menurutnya, hingga kini tak ada kejelasan dan perhatian dari pemerintah terkait nasib dan kesejahteraan hidup mereka sebagai warga negara.
Alwiyah bercerita, kebanyakan masyarakat di kamp pengungsian bekerja sebagai buruh kasar di Lasiana, Kupang. Mereka yang dulu terbiasa hidup bertani dan memiliki lahan pertanian sendiri, sejak pindah mengungsi harus bertahan hidup dengan ragam cara.
“Jadi buruh di Lasiana sana, memang jauh tapi mau bagaimana. Begitulah caranya agar masih hidup,” sambungnya.
Selain sulitnya mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup, kondisi pengungsian yang jauh dari kota juga menyulitkan mereka untuk mendapat akses kesehatan. Belum lagi jauhnya jarak sekolah yang dapat diakses. Sekolah terdekat yang dapat diakses oleh anak-anak adalah sejauh 5 km.
“Mereka harus jalan kaki untuk sekolah, naik ke Batakte. Semuanya, dari SD hingga SMA,” sambung Arafiq, yang sedang menyelesaikan semester akhirnya di Universitas Muhammadiyah Kupang.
Kini saat pandemi melanda, anak-anak di kamp cukup sulit mengikuti proses pembelajaran. Hal ini disebabkan sulitnya akses jaringan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu secara taraf pendidikan, mayoritas warga di Boneana hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SMP atau SMA. Kondisi ekonomi, infrastruktur serta akses yang sulit semakin menyusahkan kondisi kehidupan mereka.
Belum lagi kalau hujan besar melanda, akses jalan keluar akan semakin susah. Warga kesulitan mendatangi puskesmas terdekat yang juga ada di Batakte. Pun urusan administrasi mereka lakukan di Oetmatnunu yang jaraknya 6,4 km dan waktu tempuh 30-45 menit.
Alawiyah yang sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga, bercerita bahwa ia dan warga di pengungsian sudah tidak bisa hanya menunggu bantuan dari pemerintah untuk mencarikan solusi terhadap kesejahteraan mereka. Mulai dari akses pendidikan, akses kesehatan, administrasi hingga peluang kesejahteraan ekonomi yang semakin terdesak.
“Kami dua puluh tahun sudah hidup di sini dan kondisi kami yah begini-begini saja, susah, bantuan dari pemerintah itu banyak yang datang katanya pendataan tapi sampai sekarang tidak ada,” tuturnya.
***