Mohon tunggu...
Dedy Ardiansyah
Dedy Ardiansyah Mohon Tunggu... -

sportif dan gak neko-neko. \r\nsilahkan juga berkunjung ke blog saya: www.dedypunya.wordpress.com media referensi: www.edisimedan.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Jokowi, Hanya Mega dan SBY yang Bisa!

25 Januari 2015   19:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:24 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KITA semua, sudahilah perseteruan ini. Terkhusus para elit partai, elit penguasa di manapun berada. Percayalah, jika kalian terus bersiteru, saling sikut dan saling mengunci kesalahan, Indonesiaku tidak akan pernah maju.

Lihatlah, betapa kalian telah mempermalukan diri di hadapan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Persoalan demi persoalan yang kalian timbulkan, menenggelamkan potensi Indonesiaku yang kaya raya, memperburuk pesona alam dan adat budayanya, mengubah kerukunan dan toleransi rakyatnya untuk saling curiga.

Akankah keistimewaan Indonesiaku itu tercerabut dari bumi pertiwi? Saat negara-negara lain tinggal landas menuju planet Mars, kita masih saja bergulat pada persoalan panas di masa lalu.

Kita butuh rekonsiliasi nasional. Para pemimpin partai, para tokoh bangsa di masa lalu dan kini, harus duduk bersama, saling bicara menyelesaikan masalah bangsa. Saling melupakan kesalahan yang terjadi di masa lalu.

Jangan pula sok berani. Seolah menyelesaikan dosa dan korupsi pemimpin terdahulu, tapi tak mampu menyeluruh, sehingga menimbulkan persepsi demi langgengkan kekuasaan, politik balas dendam.

Maafkanlah kesalahan para pemimpin kita. Kesalahan Megawati, kesalahan SBY, kesalahan Gus Dur, kesalahan Aburizal Bakrie, kesalahan Amin Rais, kesalahan Prabowo, kesalahan Jokowi, termasuk kesalahan Soeharto dan kesalahan Soekarno.

Dus kesalahan siapapun para pejabat dari berbagai latar belakang partai politiknya.

Lupakan kasus-kasus korupsi para elit itu. Jika perlu diputihkan. Mulai lagi dari O. Kita buka kembali sebuah lembaran baru mengelola negara secara bersih, berintegritas bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Untuk memulai rekonsiliasi itu, butuh kebesaran jiwa dan sikap negarawan. Ketauladanan adalah kunci menciptakan kebersamaan. Tanggalkan semua kepentingan politik kekuasaan, egoisme pribadi dan kelompok.

Rekonsiliasi ini hanya bisa dimulai dari Megawati dan SBY. Kedua tokoh ini adalah kunci penyelesaian karutmarut politik di negeri ini. Bukan pada Jokowi!

Semua orang tahu, SBY dan Megawati tak pernah akur. Keduanya adalah air dan minyak. Jokowi hanya dimanfaatkan Megawati untuk menyapu bersih rezim SBY, seteru politiknya Megawati.

Lihat saja komposisi kunci di kabinet Kerja Jokowi, khususnya di bidang hukum dan pemerintahan.

Menteri dalam Negeri (PDIP), Menteri Hukum dan HAM (PDIP), Menkopolhukam (Nasdem), Menhan (PDIP), Kejaksaan Agung (Nasdem). Semua dikuasai PDIP dan partai koalisi kuatnya. Termasuk untuk posisi Kapolri.

Panasnya pergantian pucuk pimpinan Polri menguak sebuah kisah, bahwa Jenderal Sutarman merupakan "orang Cikeas". Megawati tak mau itu. Diutuslah Budi Gunawan dari dinasti Teuku Umar.

Masyarakat awam tidak akan tahu misteri apa dan atas tujuan apa dibalik pergantian mendadak Trunojoyo itu.

Tapi yang pasti, jabatan Kapolri memang harus direbut untuk melengkapi formasi inti bidang hukum dan pemerintahan ala Megawati. Budi Gunawan ibarat seorang striker yang dibutuhkan untuk mempertajam strategi yang sudah disiapkan. Posisi Kapolri teramat penting dalam bertahan, menyerang dan atau saat melakukan serangan balik.

Tapi "transfer" Kapolri ini tak berjalan mulus. Ada perlawanan dari "Orang Cikeas" (jika kisah itu betul adanya). KPK pun ikut terseret dalam pusaran perang antara kubu "Teuku Umar dan Cikies".

Selanjutnya kita tahu sendiri kisahnya kini. Lalu, sampai kapan episode Mega vs SBY ini berakhir? Sekaranglah waktunya!

Kita menginginkan episode ini dihentikan. Megawati dan SBY harus bertemu. Berbicara dari hati ke hati. Menyelesaikan semua perbedaan masa lalu dengan duduk bersama.

Jika dua kutub ini bisa bersatu, tentu akan lebih mudah berbicara rekonsiliasi dengan para tokoh politik lainnya.

Bila keduanya bisa bertemu seperti keluarga, Indonesia bisa move on. Tidak akan ada lagi intrik politik yang berujung konflik. Saling intip, saling salip dan saling cari-cari kesalahan pendosa di masa lalu.

Pikirkan secara bersama membangun bangsa ini menjadi maju, kuat, dan berdaya saing dengan negara lain, yang muaranya demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Agar tak ada negara lain ambil untung dari polemik ini.

Ingatlah, Indonesiaku memiliki 220 juta penduduk. Kami semua bergantung pada kondusifitas politik nasional. Kami butuh ruang untuk kehidupan normal, butuh ketenangan dalam berusaha.

Anak-anak Indonesia butuh makan, butuh kesehatan yang layak, butuh pendidikan yang mencerdaskan demi terwujudnya Indonesia yang kuat, Indonesia yang hebat!

Sekali lagi, saya dan jutaan rakyat Indonesia lainnya, ingin hidup tenang. Bisa bercengkrama dengan anak dan istri di rumah tanpa harus merasakan kelaparan, menjalan ibadah dengan indah, bersosialisasi tanpa tendensi dan melangkah pasti dalam karya demi sebuah cita-cita bersama, Indonesia sejahtera!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun