Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Si Manusia Seribu

6 Agustus 2024   23:37 Diperbarui: 6 Agustus 2024   23:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua berawal dari rasa takutku sewaktu dia tiba-tiba mendatangiku di beranda rumah. Dengan tangan terulur ke arahku, dia berkata: "Saribu jo!", yang artinya "Seribu lah". Dari kata yang diucapkan saya banyak yakin kalau dia itu orang Batak. Saya juga orang Batak dan karenanya saya mengerti apa yang dia ucapkan.

Saat itu, saya segera lari karena dia memang (maaf) orang dalam gangguan jiwa. Sekalipun dia tidak seperti hendak menyerang, namun keadaannya yang demikian membuat saya kurang berani mendekatinya. Yang membuat saya merasa heran ialah mengapa dia minta hanya seribu.

Hari berikutnya kami bertemu lagi. Saat itu kami ketemu di jalan saat saya hampir tiba di rumah. Lalu hal yang sama segera dia ucapkan. Bedanya, kali itu dia menambahkan kata-katanya: "Saribu jo!. Apala saribu pe dang boi dilean!" yang artinya: "seribulah, masa seribu saja tidak bisa diberi!". Lalu, sambil berkata: "satokkin jo dah", yang artinya "Tungguh sebentar", saya membuka dompet dan menemukan sejumlah yang dia minta. Setelah saya beri, sambil tersenyum dia pergi dan mengucapkan "Mauliate da", yang artinya"Terima kasih ya".

Saya senang melihat ekspresinya. Saya masih ingat rasa takutku yang muncul waktu pertama kali bertemu dengan dia. Namun, saat saya memberanikan diri untuk memberikan apa yang dia minta, rasa takutku terhadapnya tidak ada lagi.

Sejak peristiwa itu, saya selalu siapkan uang seribu di dalam saku ku. Tujuannya ialah supaya jika kami bertemu kembali, maka saya pun bisa segera memberikannya.

Sejak tulisan ini saya buat, mungkin sudah beberapa kali saya memberinya uang seribu setiap kali kami bertemu. Pernah juga suatu hari saat saya dan teman saya pergi ke warung, dia tiba-tiba melintas dan berjalan ke arah kami. Teman saya itu bilang "tidak ada", sambil menggerakkan tangannya. Namun saya segera rogoh saku celanaku dan mengeluarkan uang seribu sambil berkata: "Aku sudah mempersiapkannya untuk dirinya". "Oh, ternyata kenal", kata temanku membalas.

Saya menyebutnya si manusia seribu. Entah mengapa dia hanya meminta seribu. Saya memang belum pernah memberinya sejumlah uang yang lebih dari yang dia minta. Dugaanku, saat saya memberi uang lebih dia akan berkata: "Gak ada kembaliannya", atau malah akan semakin berterima kasih kepadaku. Saya tidak tahu juga. Saya hanya ingat kata-katanya: "Masa hanya seribu aja tidak bisa diberi".

Saya berefleksi kalau kata-katanya itu adalah ajakan untuk berani berbagi dari jumlah yang paling kecil. Memang yang paling kecil dari seribu ialah lima ratus, karena uang seratus rupiah sudah tidak mampu lagi membeli sesuatu. Namun kebetulan dia minta seribu dan mungkin sudah jarang ada makanan yang bisa dibeli dengan harga lima ratus rupiah.

Oleh karena itu, bagi saya, perkataannya itu seolah mengajari saya bahwa berbagi tidak selalu dimulai dari harga yang besar. Yang penting itu ialah perbuatan berbaginya, bukan jumlah yang dibagikan.

Hal lain yang saya refleksikan dari kata-katanya itu ialah berbagi dengan jumlah yang kecil sekalipun pasti sudah membuat orang yang menerimanya itu bersyukur. Saya selalu ingat ekspresinya setiap kali saya sudah memberinya uang seribu. Dia tersenyum dan sambil sedikit menundukkan kepala dia mengucapkan terima kasih kepada ku.

Betapa senangnya perasaan ku melihat kejadian itu. Semoga juga kebaikan-kebaikan kecil seperti ini selalu hadir dalam hati banyak orang sehingga banyak orang tidak mampu itu semakin terperhatikan. Saat ini saya sedang belajar untuk bisa setia dengan kebaikan "seribu ku". Mungkin saya akan memulainya dengan si "manusia seribu ku" yang sudah hadir dalam hidupku. Dia adalah Tuhan yang kelihatan dalam dunia ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun