Sore tadi (14/07), saya menemani Pastor untuk memimpin Perayaan Ekaristi di salah satu Panti asuhan yang berada di kota Gunungsitoli. Seperti biasa, sehabis Perayaan Ekaristi, kami akan makan malam bersama dengan para suster yang menjadi pendamping anak-anak panti.
Saat waktu makan malam tiba, anak-anak panti akan pergi ke unit mereka masing-masing sementara saya dengan Pastor yang saya temani tersebut makan bersama dengan para suster. Saat itu terdapat tiga orang suster di tempat itu.
Biasanya waktu yang digunakan oleh anak-anak panti untuk makan tidak lebih dari setengah jam. Sementara kami dengan para suster, biasanya menghabiskan waktu hampir satu jam. Bukan karena jenis makanan kami banyak, tetapi karena kegiatan makan itu kami isi dengan bercerita tentang banyak hal.
Oleh karena itu, anak-anak panti yang telah lebih dahulu selesai makan malam, segera menampakkan wajah mereka dari depan pintu ruang makan kami. Meskipun para suster melarangnya karena dinilai mengganggu kami yang sedang makan, namun mereka tetap saja melakukannya. Mereka melakukan hal itu secara bergiliran, satu persatu, seperti sedang memberikan daftar absen bagi kami berdua.
Biasanya sebelum pandemi Covid-19 menyerang, sehabis makan, saya akan mengambil waktu sejenak untuk berfoto bersama mereka. Saya juga suka berbincang bersama mereka sekalipun perbincangan kami memiliki arah yang "tidak jelas" karena masing-masing dari mereka mengungkapkan topiknya dan hampir tidak bisa nyambung ketika saya membalasnya. Namun saya tetap bersemangat untuk melayani mereka bercerita.
Namun sore itu saya tidak bisa berbincang dan berfoto bersama mereka. Oleh suster, mereka diatur untuk tidak berdekatan dengan kami dan saya juga menyakinkan mereka untuk tidak berfoto bersama mereka untuk sementara waktu sekalipun mereka tidak akan mengerti jika diberi penjelasan tentang apa yang menjadi alasannya.
Setelah mengambil waktu sejenak bersama dengan anak panti untuk menjawab pertanyaan mereka tentang keadaan kami, maka kami pun pamit kepada suster untuk kembali ke komunitas. Kami juga tidak lupa menyampaikan ucapan perpisahan kepada anak-anak panti sambil berpesan agar mereka belajar dengan baik dan mentaati bimbingan dari para suster.
Ketika dalam perjalanan pulang, saya mengatakan kepada pastor yang saya temani tersebut tentang keceriaan dari anak-anak panti tersebut. Sungguh suatu perjumpaan yang bermakna bagiku.
Bagi saya sendiri, perjumpaan dengan anak-anak panti meningkatkan rasa kekagumanku pada kuasa Tuhan. Keceriaan mereka membantu saya untuk memahami kalau keterbatasan fisik tidak pernah menjadi penghalang untuk bersyukur kepada Tuhan karena nyatanya Tuhan punya banyak cara untuk menyalurkan kebaikan-Nya kepada kita, yaitu lewat orang-orang yang berada di sekitar kita.
 Dan dari keterbatasan mereka pun saya mengerti kalau hidup yang senantiasa bergantung sepenuhnya pada Tuhan adalah hidup yang melahirkan kebahagiaan. Oleh karena itu, setiap kali kembali dari kunjungan kepada anak-anak panti, iman ku selalu diteguhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H