Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Yerusalem sampai Sarimatondang

10 Juli 2021   12:15 Diperbarui: 10 Juli 2021   12:16 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah perjalanan, saat berada di dalam angkot, rasa kantuk, yang saya khawatirkan, datang menyerang. Saya langsung berkata dalam hati, "Wah, bisa kacau ini kalau ngantuk". Saya khawatir jangan-jangan karena ngantuk ini saya tidak dapat memimpin ibadat dengan baik. 

Akhirnya saya pun berdoa, "Tuhan, saya sadar kalau tadi malam saya lama baru tidur. Tetapi bantulah saya pada hari ini agar dapat memimpin ibadat dengan baik. Jangan sampai saya menjadi batu sandungan bagi umat".

Ketika tiba di gereja stasi Sarimatondang, dan setelah memberikan katekese kepada umat, maka saya pun mulai memimpin Ibadat Sabda untuk mereka. 

Selama Ibadat Sabda berlangsung, saya tidka merasa ngantuk. Akhirnya saya pun bisa memimpin Ibadat Sabda dengan baik. Dalam hati saya bersyukur kepada Tuhan karena Ibadat Sabda hari itu berjalan dengan baik.

Seusai ibadat, saya dengan Fr. Nando diundang untuk makan siang di rumah salah seorang umat. Menunya sangat enak sehingga saya makan agak banyak.

Setelah makan siang, tuan rumah menyuguhkan kopi kepada kami dan mulai menceritakan kesulitan-kesulitan yang mereka alami. Pada akhir dari ceritanya itu, tuan rumah meminta kami untuk mendoakan mereka, terutama agar anak-anak laki-laki mereka mendapatkan pekerjaan, juga agar anaknya yang perempuan dapat menyelesaikan kuliahnya. Lalu kami pun berjanji untuk mendoakan mereka.

Ketika kembali ke rumah pembinaan, saya memikirkan kembali permintaan tuan rumah itu. Dalam hati saya bertanya, "Mengapa tuan rumah itu meminta doa dari saya? Siapakah saya ini? Bukankah saya dalam mempersiapkan diri untuk kerasulan saja tidak melakukannya dengan total?"

Saya membawa permenungan itu dalam doa dan tiba-tiba saja kata-kata dosen kami di kampus tersebut terlintas dalam pikiran saya. Saya mencoba untuk menghubungkannya dengan apa yang saya alami. Akhirnya saya berefleksi demikian, "Oh ini toh makna kata-kata itu. 

Sebagai seorang calon imam, saya tidak boleh egois dengan diri saya sendiri. Saya tidak boleh larut dalam kelemahan saya. Saya harus selalu menumbuhkan dan menjaga harapan umat. 

Biarlah kelemahan diri saya itu menjadi urusan Tuhan dengan saya. Tuhan pasti membantu dan melengkapinya. Yang penting ialah saya harus menjadi saksi-Nya di Yerusalem sampai ke Sarimatondang".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun