Kemarin, 29 Maret 2021, saya memimpin rekoleksi untuk para Suster yang tinggal di desa Fodo, Gunungsitoli. Tema yang mereka berikan kepada saya ialah "Menjadi Pemanggul Salib yang Benar agar Bisa Menerima Palem Kehidupan Kekal".
Rekoleksi itu merupakan kegiatan rutin bulanan mereka di komunitas tersebut. Pemberi materinya juga bergantian. Untuk bulan ini, sayalah yang mereka minta menjadi pemberi materi bagi mereka.
Karena situasi pandemi Covid-19, kegiatan rekoleksi itu dilaksanakan dengan protokol kesehatan. Kami mengenakan masker dan sebelum masuk ke ruang pertemuan, kami mencuci tangan. Posisi duduk kami juga di atur jaraknya sedemikian rupa, yaitu satu orang permeja. Kebetulan mereka hanya berjumlah  10 orang sehingga protokol kesehatan tidak sulit diterapkan.
Ada dua tantangan yang saya alami dalam kegiatan rekoleksi ini. Kesulitan pertama ialah berkaitan dengan tema yang mereka berikan. Mungkin karena keterbatasan saya dalam membaca buku selama ini, kata Palem Kehidupan Kekal itu baru saya dengar untuk pertama kalinya. Karena itu, saya butuh waktu yang cukup lama untuk mengolah tema tersebut. Beruntung tema itu sudah diberi jauh-jauh hari sebelumnya sehingga saya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pengolahan.
Kesulitan kedua yang kuhadapi ialah perdananya diriku memberi rekoleksi kepada para suster. Selama ini peserta rekoleksi yang saya dampingi berasal dari kalangan anak-anak sekolah dari SD hingga SMA. Tetapi, hari itu, untuk pertama kalinya bagi saya memimpin rekoleksi kepada para suster.
Selain karena merupakan pengalaman perdana, memimpin rekoleksi kepada para suster juga membuat saya kurang percaya diri mengingat mereka yang berada di komunitas tersebut ialah para suster senior yang sudah lama mengalami hidup membiara. Bahkan komunitas tersebut diisi oleh para suter yang memegang pelayanan di berbagai instansi pendidkan. Karena itu saya merasa kurang percaya diri.
Saya itu masih muda, bahkan layak menjadi cucu dari salah seorang suster yang ada di komunitas tersebut. Karena itu saat menerima tugas tersebut, saya berkata dalam hati, "Saya masih terlalu muda untuk memimpin rekoleksi bagi mereka".
Namun berkat dukungan dari para saudara di komunitas ku, terlebih dari mereka yang sudah sering diminta untuk memimpin rekoleksi kepada para suster tersebut, saya mencoba membangun rasa percaya diri. Saya bertanya kepada mereka tentang apa-apa saja yang perlu saya persiapkan, mulai dari pengolahan temanya hingga metode yang saya gunakan. Saya juga mendiskusikan tema rekoleksi yang akan saya bawakan.
Alhasil, saya bisa menjalankan tugas itu dengan baik. Dan yang paling membahagiakan ialah saya mendapat apresiasi dari suster pimpinan komunitas tersebut. Menurut beliau, tema rekoleksi itu berhasil saya olah dengan baik dan menarik sehingga mereka mampu mengikutinya dengan baik pula.
Syukur kepada Tuhan atas pengalaman hari itu, saat untuk pertama kalinnya saya diberi kesempatan memimpin rekoleski kepada para suster. Pengalaman tersebut menumbuhkan rasa percaya diriku untuk menjadi pelayan bagi siapa saja yang membutuhkan.Â
Saya juga berterima kasih kepada para saudara sekomunitas yang turut membantu dalam mempersiapkan rekoleksi tersebut. Mereka membuat saya mampu menjalankan tugas itu dengan baik.
keterangan:
1. Suster yang dimaksud ialah suster Katolik atau para perempuan yang memilih hidup secara khusus dalam biara dan tidak menikah. Namun meskipun hidup dalam biara, mereka juga memiliki pelayanan di berbagai bidang kehidupan seperti pendidikan dan rumah sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H