Suatu sore, saya sedang berolahraga dengan berlari kecil. Kegiatan ini sudah menjadi kebiasaanku sehabis kembali dari kantor Paroki. Saya merasa bahwa suasana sore itu menyegarkan badan dan pikiranku. Karena itulah, maka saya pun hampir tidak pernah absen untuk lari-lari kecil di sore hari.
Itu saya lakukan sekitar pukul 17.00 karena pada waktu itulah saya kembali dari kantor. Setelah beres-beres dengan sepatu olahraga, maka saya pun memulai lari saya.
Seperti biasa rute saya ialah taman Yahowu Gunungsitoli. Bagi saya, taman itu menyegarkan karena ada pantainya yang saat di sore hari selalu menghembuskan angin yang segar.
Setelah selesai dari lari-lari kecil, saya pun kembali ke paroki. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang penjual buah. Hampir selalu terjadi bahwa saat saya kembali dari kegiatan lari-lari kecil, saya bertemu dengan bapak itu. Penampilannya selalu sama, menggotong buah yang dipikul dengan sepotong bambu. Dan seperti yang sudah-sudah, saya pun membeli beberapa buah yang ia jual.
Sebenarnya, saya tidak perlu repot-repot membeli buah karena hasil kebun yang berada di belakang rumah kami cukup untuk memenuhi kebutuhan buah kami setiap harinya. Namun saya merasa iba dengan bapak itu dan saya ingin membantunya dengan membeli dagangannya.
Saya merasa senang setiap kali melihat ekspresi bahagia beliau saat saya datang untuk membeli dagangannya. Kadang saya menyempatkan diri untuk bercerita kepadanya tentang penjualannya hari itu. Meskipun tidak selalu banyak yang laku, namun bapak itu selalu bersyukur kepada Tuhan atas apa yang ia peroleh.
Setiap kali membeli hasil dagangannya saya harus memberi uang pas, agar beliau tidak repot mencari uang kecil untuk mengembalikan sisa uangku. Saya pun tidak berani mengatakan kepada beliau untuk tidak perlu mengembalikan sisa uangku itu karena ia pernah memarahi saya saat mengatakan hal itu. Beliau hanya ingin agar dagangannya laku terjual dengan uang yang sesuai dengan harga jualannya yang laku. Sejak saat itulah, saya harus menyediakan uang pas setiap kali membeli dagangannya.
Setelah membeli dagangannya saya pun pamit untuk kembali ke paroki. Hari itu saya membeli lebih banyak dari yang biasanya. Itu karena saya baru mendapat uang saku dari kantor. Bahkan saya ingin memborongnya, tetapi beliau tidak mengizinkannya karena ada beberapa pelanggan setianya yang belum mendapat bagian
Dagangan bapak itu tidak begitu banyak dan jenis buah yang ia jual juga terbatas, yaitu pisang, ubi jalar dan pepaya. Itu pun ia beli dari seorang petani kenalannya. Karena itulah sore itu saya berani ingin memborong semua dagangannya, namun tidak berhasil karena beberapa pelanggan setianya.
Saya selalu merasa senang setiap kali bertemu dengan bapak itu. Bagiku, bapak itu ialah cerminan bagi rasa kemanusiaanku untuk sesama. Ia memelihara dan membangkitkan rasa iba di dalam hatiku dan itu membantuku untuk memandang sesama dengan pandangan kasih.