Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perayaan Natal dalam Kepolosan Iman

26 Desember 2020   00:19 Diperbarui: 26 Desember 2020   00:19 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kandang Natal (dok.pri) 

Sungguh suatu yang membahagiakan saat saya diminta untuk memimpin ibadat Perayaan Natal di salah satu gereja stasi yang ada di pedesaan. 

Hal yang membuat saya merasa bahagia ialah karena di gereja itu, umatnya sangat kental dengan bahasa Nias, dan hampir tidak ada yang mengerti bahasa Indonesia. 

Dengan demikian saya pun memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan bahasa Nias ku dengan membuat kotbah dalam bahasa Nias.

Hal lain yang membuat saya merasa bahagia, dan hal inilah yang paling membahagiakan, ialah karena di sana iman umatnya sangat "polos". Bahkan karena terlalu polosnya, saya selalu merasa tidak layak untuk memimpin ibadat kepada mereka. 

Saya sadar kalau hidup rohani mereka jauh lebih tinggi dari saya. Namun karena panggilanku di dalam Gereja sebagai pimimpin ibadat untuk mereka, maka "layak tidak layak" saya harus melakukannya untuk mereka. Biarlah Tuhan yang mensahkan ibadat yang saya pimpin untuk mereka.

Oleh karena di tempat itu umatnya sudah sangat kental dengan bahasa Nias, dan bahwa mayoritas dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, maka saya pun harus berjibaku membuat kotbah dalam bahasa Nias. 

Meskipun sulit, namun keinginan untuk mengembangkan bahasa Nias yang selalu membara di dalam hati ku membuat ku bersemangat melakukannya.

Seperti biasa, saya selalu meminta kepada Pastor yang bersuku Nias dan pandai dalam bahasa Nias untuk mengoreksi kotbahku. 

Beliau senantiasa bersedia membantu ku, selain untuk memastikan agar bahasa Nias aku bisa dimengerti oleh umat, tetapi juga untuk memastikan agar kata-kata yang saya gunakan memiliki pandanan yang sesuai dengan nilai teologis yang berlaku di Gereja Katolik.

Setelah semuanya beres, saya berangkat menuju gereja tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saya sengaja untuk tiba lebih awal, yaitu satu jam sebelum ibadat dimulai, agar saya memiliki waktu yang cukup untuk bercengkerama dengan mereka atau pun memberikan pengajaran tentang iman Katolik (berkatekese) kepada mereka.

Ketika tiba waktu yang ditentukan untuk memulai ibadat, maka saya pun segera memimpin ibadat. Sepanjang ibadat berlangsung, banyak dari mereka yang mengantarkan intensi untuk saya doakan.

Pada saat mengantarkan intensi tersebut, mereka akan berlutut terlebih dahulu di depan altar, membuat tanda Salib dan sambil menunduk dengan hikmat, mereka memberikan intensi di meja altar. Itulah bentuk kepolosan iman mereka, namun bagi saya pribadi, iman demikianlah yang berkenan di hadapan Tuhan. 

Perbuatan mereka itu memperlihatkan suatu sikap yang merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa. Sungguh suatu sikap iman yang luar biasa.

Seusai ibadat, saya diajak untuk makan di rumah salah seorang umat. Bersama saya ada beberapa orang yang turut serta agar suasana makan pun menjadi kesempatan baik untuk bercengkrama dengan mereka. Dalam suasana itu kami membahas banyak hal terkait dengan kehidupan mereka di desa itu dan seturut kemampuanku saya berusaha memberi masukan kepada mereka.

Setelah makan siang selesai saya pamit. Saya segera kembali ke paroki.

Bagi saya pribadi, pengalaman memimpin ibadat di tempat itu sungguh merupakan suatu pengalaman yang menyenangkan. Pertemuan dengan mereka membantu saya menghayati makna Natal yang kami rayakan saat itu, yaitu Allah berkenan lahir dalam rupa manusia yang lemah dan sederhana, untuk menujukkan kepada manusia tentang bagaimana caranya mencintai sesama, terlebih mereka yang lemah.

Dan lagi, justru kepada orang-orang yang lemah dan sederhanalah warta keselamatan itu pertama kali disampaikan, yang dilambangkan oleh para gembala saat para malaikat datang kepada mereka dan menyampaikan bahwa Juru Selamat telah lahir (lihat Lukas 2:8-20). 

Para gembala adalah mereka yang memiliki status sosial yang rendah dan sering tidak diperhitungkan di dalam masyakaratnya. Namun justru kepada merekalah warta yang Agung itu disampaikan (Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, hlm. 120).

Semoga pengalaman itu membuat saya mengerti bagaimana bersikap di hadapan Tuhan, yaitu dengan selalu merendahkan diri, membuka hati kepada sesama dan bergantung hanya kepada-Nya hingga Ia berkenan lahir di hati dan kehidupan ku.

Selamat Natal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun