Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terkadang Kita Harus Berani Nekat untuk Bisa Berkembang

15 Desember 2020   23:48 Diperbarui: 15 Desember 2020   23:52 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari saya diminta untuk memberkati Pernikahan oleh Pastor Paroki. Itu merupakan pengalaman pertama bagi ku. Oleh karena itu, saya berusaha mempersiapkannya dengan sebaik mungkin.

Hal pertama yang kupersiapkan ialah renungan atau kotbah. Untuk teks Kitab Sucinya, saya menggunakan teks yang sudah tertera dalam buku Pemberkatan Pernikahan.

Awalnya saya menyusun kotbahku dalam bahasa Indonesia. Itu sesuai dengan buku Perayaan Pernikahan yang diberikan kepadaku. Oleh Katekis, saya diberi buku Perayaan Pernikahan yang versi bahasa Indonesia.

Setelah kotbah ku selesai, fokus saya tertuju kepada ritus-ritus yang digunakan dalam Perayaan Pernikahan. Karena merupakan pengalaman perdana, maka sebisa mungkin ritus-ritus yang ada saya hafal agar tidak salah ketika mempraktekkannya.

Tibalah hari di mana saya akan melakukan pemberkatan pernikahan. Meskipun segala sesuatunya sudah saya persiapkan, namun ada yang mengganjal di hatiku yaitu tentang kotbah ku.

Saya tahu kalau orang yang akan saya berkati nantinya berasal dari sebuah desa yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Nias. Dari informasi yang saya dapatkan, mereka jarang menggunakan bahasa Indonesia. 

Kemampuan bahasa Indonesia mereka masih kurang. Oleh karena itu saya khawatir jika mereka tidak bisa mengerti apa yang menjadi isi kotbahku dalam perayaan tersebut.

Tiba-tiba timbul dalam pikiranku untuk membuat kotbah dalam Bahasa Nias. Saya mengambil waktu beberapa saat untuk menterjemahkan isi kotbahku ke dalam bahasa Nias.

 Saya tahu itu sulit karena bahasa Niasku masih kacau. Namun tekadku kuat agar apa yang menjadi pesan Tuhan dalam Perayaan tersebut bisa mereka pahami dengan baik.

Setelah selesai saya terjemakan, saya meminta kepada katekis untuk memeriksa kosa kata bahasa Niasku, dan menurut penilaiannya, secara umum bahasa Niasku cukup baik dan beliau menjamin kalau para umat yang hadir pasti bisa mengerti isinya.

Setelah tiba waktu yang telah disepakati maka perayaan pun kami mulai. Awalnya saya merasa baik-baik saja karena semua hal yang akan saya sampaikan sudah tertera dalam buku Perayaan.

Namun saat tiba waktunya bagiku untuk berkotbah, saya mulai gugup. Tidak tahu mengapa, timbul keraguan dalam hatiku apakah saya harus berkotbah dalam bahasa Nias atau bahasa Indonesia. 

Akhirnya setelah teringat kembali dengan apa yang menjadi niat awalku tentang mengapa saya harus berkotbah dalam bahasa Nias, maka saya pun memberanikan diri untuk melakukannya.

Setelah kotbah selesai, saya melanjutkan ritus-ritus lainnya dalam Perayaan tersebut. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya dan Perayaan Pernikahan pun bisa kami laksanakan sampai selesai.

Setelah Perayaan selesai, saya mengambil waktu sejenak untuk berbincang-bincang kepada para umat. Setelah itu saya kembali ke pastoran untuk makan siang.

Selama makan siang berlangsung, pikiran saya masih tertuju pada kotbah ku dalam perayaan tersebut. Saya selalu bertanya-tanya di dalam hati, apakah bahasa Niasku sudah benar atau tidak. Namun meskipun demikian, saya merasa ada kebanggaan tersendiri di dalam hati karena saya telah melakukannya.

Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan atas pengalaman hari itu. Dari pengalaman itu saya mengerti kalau Tuhan sedang memperkenalkan kepadaku suatu bentuk perjuangan yang harus saya lakukan ketika saya diminta untuk melayani umat-Nya. Dan dalam hal itu saya tidak boleh menyerah kepada kelemahan.

Saya sadar bahwa bahasa Niasku masih kurang baik. Itu terjadi karena saya baru saja mengalami pengalaman pastoral di Pulau Nias dan ditambah lagi saya itu bukan berasa dari Suku Nias. 

Namun meskipun demikian, saya harus berani memacu diri agar secara perlahan-lahan kemampuan bahasa Niasku bisa berkembang. Nekat untuk membuat kotbah bahasa Nias dalam pengalaman perdana melakukan pemberkatan Sakramen Pernikahan adalah salah satu buktinya. Jika tidak demikian maka sampai kapan pun saya tidak akan pandai dalam bahasa Nias.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun