Kegiatan rekoleksi ditutup dengan Perayaan Ekaristi bersama di sebuah kapel atau ruang doa. Saya juga turut menemani pastor yang menjadi pemimpin dalam Perayaan tersebut.
Sekembalinya dari panti asuhan, para saudara mempertanyakan pengalaman yang saya dapatkan hari itu dan dengan senang hati saya menceritakan apa yang saya alami.
Bagi saya pribadi, pengalaman memimpin rekoleksi untuk anak-anak panti merupakan pengalaman pertama bagiku. Pengalaman itu sangat istimewa karena berbeda dari pengalaman-pengalaman lainnya saat saya memimpin rekoleksi kepada mereka yang normal secara fisik dan psikis.
Pengalaman memimpin rekoleksi untuk anak-anak panti, secara khusus mereka yang memiliki kebutuhan khusus, membuat saya mengerti apa artinya mencintai dan dicintai. Bagi saya sendiri, anak-anak panti yang baru saja saya pimpin untuk mengikuti rekoleksi, adalah mereka yang sangat bergantung pada cinta dari orang-orang yang berada di sekitar mereka. Dan karena itu selama saya menyampaikan apa yang menjadi materi rekoleksi ku, saya berusaha untuk membuat mereka merasa dicintai oleh saya sendiri.
Hal yang menarik perhatian saya saat itu ialah ekspresi ceria yang tampak dari wajah mereka. Hal itu sangat membuktikan kepada ku kalau mereka bertumbuh dalam cinta, baik cinta yang diberikan oleh para suster yang menjadi Pembina mereka, juga cinta dari antara mereka sendiri. Mereka tampak saling mencintai satu sama lain.
Saya kira, itulah yang membuat kegiatan rekoleksi itu bisa berjalan dengan baik. Saat saya bisa menunjukkan rasa cintaku kepada mereka, maka dengan sendirinya materi rekoleksi yang saya berikan pun mampu mereka pahami dengan baik.
Sesungguhnya hal itu merupakan syarat keberhasilan untuk semua kegiatan. Namun melihat keadaan yang mereka alami, hal itu tentu menjadi sesuatu yang sangat istimewa, terlebih jika kita mampu terlibat secara langsung sebagai orang yang bisa membuat mereka merasa dicintai.
Jika di awal, saya mengalami kesulitan menemukan ice breaking yang cocok untuk mereka, namun saat saya bertemu dengan mereka saat itulah saya mengerti kalau ternyata saya tidak membutuhkan ice breaking untuk rekoleksi yang saya pimpin. Dengan membuat mereka merasa dicintai, maka sepanjang waktu dalam kegiatan rekoleksi tersebut akan menjadi sesuatu yang menggembirakan dan karena itu ice breaking tidak diperlukan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H