Suatu pagi, saya mendampingi pastor memimpin Perayaan Ekaristi. Seperti biasa, sebagai seorang diakon, yang menjadi tugas saya ialah membaca Injil, mempersiapkan persembahan di altar, menarik anamnesis, membagi komuni dan membersihkan peralatan misa.
Semua tugas itu bisa saya jalankan dengan baik, kecuali menarik anamnesis. Pada Perayaan Ekaristi pagi itu saya menarik anamnesis yang berbeda dari anamnesis biasanya. Akhirnya hanya saya dan pastor selebran yang bisa mengikutinya, sementara umat lainnya tidak bisa. Mereka semua diam, padahal seharusnya itu diserukan secara bersama-sama karena menyangkut kenangan akan misteri iman kami.
Sebenarnya pastor itu juga tidak akan bisa mengikutinya jika saja saya tidak menunjukkan jenis anamnesis yang saya tarik. Oleh karena itu, jika seandainya saya tidak menunjukkannya kepada beliau maka bisa saya pastikan yang akan bernyanyi untuk anamnesis tersebut ialah saya sendiri dan itu akan menciptakan kekacauan yang sangat besar.
Seusai perayaan, saya minta maaf kepada Pastor Selebran karena menarik anamnesis yang tidak biasa. Lalu pastor itu meminta saya untuk melatih terlebih dahulu jika ada jenis anamnesis yang tidak biasa. Bukan hanya untuk anamnesis, pastor itu juga meminta saya untuk terlebih dahulu melatih umat jika ada hal baru yang akan saya gunakan dalam suatu Perayaan Ekaristi agar semuanya bisa mengikutinya.
Saya mengerti apa yang menjadi kesalahan saya. Dengan membuat jenis anamnesis yang tidak biasa maka dengan sendirinya saya pun telah mengabaikan unsur penting dalam Perayaan Ekaristi yaitu kebersamaan.
Selain itu saya juga mengabaikan tugas saya untuk menjamin kebersamaan dalam Perayaan Ekaristi. Seharusnya, sebagai seorang diakon, saya harus memeriksa setiap hal yang akan dilaksanakan dalam suatu Perayaan Ekaristi. Tujuannya ialah agar tidak terjadi "kekacauan". Namun pagi itu, ternyata sayalah yang menjadi penyebab kekacauan tersebut.
Sebenarnya saya sudah memprediksi kekacauan itu karena saya tahu kalau jenis anamnesis itu tidak biasa digunakan di tempat itu. Namun tidak tahu kenapa pagi itu rasa sombongku muncul. Ada keinginan untuk menampilkan diri secara berbeda yang sebenarnya tidak menjadi masalah jika telah saya komunikasikan sebelumnya. Akhirnya kekacauan pun tidak terhindarkan dan saya menjadi sangat bersalah karena itu.
Pagi itu saya sungguh merasa bersalah. Pertama-tama, saya bersalah karena menjadi penyebab kekacauan dalam Perayaan Suci yang merupakan sumber dan puncak keselamatan kami. Yang kedua, saya bersalah karena tergoda untuk menyombongkan diri. Dengan kesalahan yang kedua ini, saya tidak lagi menghadirkan Tuhan dalam Perayaan itu tetapi diri ku sendiri, padahal dengan tahbisan yang kuterima, saya bertugas untuk menghadirkan Tuhan bagi umat-Nya.
Semoga kesalahan pagi itu tidak lagi saya ulangi. Saya berjanji untuk itu. Jika seandainya saya ingin menampilkan sesuatu yang baru dengan maksud baik untuk menunjang penghayatan iman maka saya harus terlebih dahulu mengkomunikasikannya, baik kepada pastor selebran maupun, dan terutama, bagi umat. Dengan demikian, kami bisa secara bersama-sama menikmati kehadiran Tuhan dalam suatu Perayaan Ekaristi dan memanjatkan pujian kepada-Nya.
Keterangan:
Anamnesis: Kenangan akan misteri iman. Isinya ialah Wafat Kristus kita kenang. Kebangkitan-Nya kita muliakan. Kedatangan-Nya kita rindukan. (Sumber: buku Tata Perayaan Ekaristi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H