Suatu malam saya bersama dengan seorang mahasiswa yang tinggal di komunitas kami pergi membeli ikan bakar untuk lauk makan malam. Malam itu kami hendak merayakan ulang tahun salah seorang saudara kami di komunitas.
Mahasiswa tersebut tahu di mana warung yang menjual ikan bakar yang enak. Kami pergi ke warung tersebut dan nama warung itu ialah Rani Seafood.
Seperti yang dikatakannya, di warung itu kita harus memilih jenis ikan apa yang kita mau untuk dibakar, lalu berapa banyak ikan yang akan dibakar dan jenis bumbu apa yang kita minta. Kesan awal ku terhadap warung itu langsung positif karena ikannya segar-segar dan kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka memproses ikan pesanan kita.
Sambil menunggu ikan kami dibakar dan diolah sesuai pesanan, kami duduk di tempat yang telah disediakan. Di situ ada sebuah bangku yang dikhususkan bagi mereka yang hanya memesan ikan tanpa makan di tempat itu.
Ketika asyik menunggu saya terkesan dengan seorang gadis yang sejak awal kami hadir di tempat itu, ia sibuk melayani pengunjung. Sesekali ia pergi ke tempat kami menunggu untuk bertanya kepada petugas bakar ikan bumbu apa yang telah dipesan oleh pengunjung.Â
Hebatnya, sekalipun ia terlihat sangat sibuk, namun ekspresinya tetap tenang. Tidak ada ekspresi lelah yang muncul dari wajahnya. Penampilannya yang demikianlah yang membuat saya terkesan dengan dia.
Ketika ikan bakar kami sudah selesai, kami melakukan pembayaran kepada kasir. Ternyata perempuan yang dari tadi sibuk melayani pengunjung itu ialah kasir di warung tersebut.
Karena sudah termakan oleh kesan positif, saya memberanikan diri untuk bertanya, tentang siapa namanya. Ternyata dialah yang bernama Rani. Dia anak pertama dari tiga bersaudari dan ayahnya beberapa bulan yang lalu baru saja meninggal dunia.
Dia mengatakan bahwa sejak ayahnya meninggal, dia harus berjuang bersama ibunya untuk melanjutkan usaha warung ayahnya. Beruntung dia telah belajar banyak dari ayah dan ibunya sehingga bisa meneruskan usaha warung ayahnya tersebut.
Tidak lama waktu yang kami gunakan untuk bercerita karena saya pun harus segera kembali ke komunitas. Saudara-saudara di komunitas pasti sudah menunggu karena kami berjanji untuk makan malam tepat pukul 19.00 WIB.
Lalu kami pamit dan tidak lupa saya berterima kasih atas pelayanan mereka yang luar biasa. Saya kira, siapa pun yang berkunjung ke warung mereka akan merasa nyaman. Itu terbukti dari banyaknya pengunjung yang datang malam itu.Â
Itulah kisah perjumpaan saya dengan Rani. Sejauh perkenalan singkat kami, nama lengkapnya ialah Rani The. Ayahnya seorang Cina dan ibunya Nias. Ia bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Negeri di daerah itu, sementara saudari-saudarinya masih SD.
Perjumpaan dengan Rani membuat saya mengerti tentang arti dari seorang anak sulung. Anak sulung memiliki hak dan kewajiban yang istimewa dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya. Tanggung jawabnya lebih besar dan karena itu perjuangan yang harus diberikan pun tentu lebih besar.
Saya yakin kalau Rani tidak pernah menyesal dilahirkan sebagai yang sulung di antara saudari-saudarinya. Dia mengerti bahwa itu semua adalah kesempatan baginya untuk bisa bertumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab. Bersama dengan ibunya, ia menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka.
Dia sadar, bahwa sebagai anak pertama, dia memikul tanggung jawab atas saudari-saudarinya. Ia juga bertanggungjawab untuk membantu ibunya dalam menjalankan bisnis yang telah dimulai oleh almarhum ayahnya. Itulah mengapa dia begitu sibuk melayani para pengunjung di warung mereka.
Saya berharap semoga Rani bersama dengan ibu dan saudari-saudarinya berhasil menjalankan usaha yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H