Dengan tugas-tugas yang ada, ternyata proses belajar bahasa Nias ku menjadi sangat efektif. Sama seperti suasana di tempat kursus ku yang pertama, di tempat ini juga bahasa Indonesia sangat asing dan bahkan mayoritas dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Karena ini merupakan kesempatanku yang kedua untuk belajar bahasa Nias, maka saya sangat berusaha.
Yang juga sangat membantu saya dalam mempelajari bahasa Nias ini ialah saat saya mengajari anak dari tuan rumah itu belajar bahasa Indonesia. Keadaannya memang demikian bahwa mereka di tempat itu tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia sehingga anak mereka yang masih duduk di bangku SD mendapat kesulitan untuk mengikuti pelajaran di sekolah.
Setiap malam saya mengambil waktu sebentar untuk membantu mereka belajar bahasa Indonesia dan sebaliknya itu adalah kesempatan bagi saya untuk juga belajar bahasa Nias.Â
Caranya adalah demikian. Saat saya menunjuk sebuah piring maka mereka akan menamainya dengan bahasa Nias yaitu figa. Setelah itu saya pun menamainya dengan bahasa Indonesia yaitu piring.Â
Begitu pula selanjutnya dengan benda-benda lain yang ada di dalam rumah, mereka akan menyebutnya dalam bahasa Nias sementara saya akan menyebutnya dalam bahasa Indonesia sehingga mereka pun mengerti bahasa Indonesia dan saya pun mengerti bahasa Nias. Saat itu kami saling mengajari.
Untuk kursus yang kedua ini, saya berani menyebut diri berhasil. Sepulang dari tempat kursus, saya bisa berbincang-bincang dengan menggunakan bahasa Nias. Saya juga bisa menyusun kotbah dalam bahasa Nias. Meskipun demikian, proses belajar saya tidak berhenti sampai di situ mengingat begitu kayanya kosa-kata dalam bahasa Nias.
Refleksi Pribadi
Kursus bahasa Nias ini menjadi sangat penting bagi saya dalam menjalani masa TOP di Pulau Nias. Kebetulan umat di paroki tempat saya TOP banyak yang masih sulit mengerti bahasa Indonesia.
Saya pernah bertanya kepada salah seorang umat tentang rasa mereka ketika mendengarkan kotbah dalam bahasa Indonesia. Umat tersebut menjawab bahwa untuk mengerti isi kotbah tersebut mereka tidak kesulitan. Namun meskipun demikian, isinya belum bisa menyentuh hati mereka. Jadi saat itu pemahaman mereka atas isi kotbah yang disampaikan dalam bahasa Indonesia hanya terbatas pada tataran kognitif padahal kotbah haruslah juga menyentuh hati dan perasaan mereka sehingga dapat membantu mereka mengenal Allah secara lebih baik.
Mendengar pengakuan umat tersebut motivasi ku untuk belajar bahasa Nias pun meningkat. Tujuannya ialah agar pelayanan pastoral ku berjalan dengan baik. Tuhan harus bisa dijelaskan dalam cita rasa budaya setempat agar bisa tinggal di dalam hati mereka dan untuk bisa melakukannya bahasa adalah syarat utamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H